Fakta dan Teori di Balik Kebiasaan Merokok
1. Tingkah laku adalah alternatif cara memuaskan kebutuhan.
Orang yang lapar membutuhkan sat makanan, tetapi sat makanan tidak harus berupa nasi. Sebetulnya, makan nasi hanyalah alternatif cara memuaskan kebutuhan akan sat makanan. Namun demikian, banyak orang yang mencari nasi ketika lapar. Ini disebabkan oleh kebiasaan. Merokok adalah juga tingkahlaku yang hanya merupakan alternatif untuk memuaskan sebuah kebutuhan
2. Ada kebutuhan yang tidak disadari
Tidak semua orang sadar apa yang sebetulnya ia butuhkan. Kita lebih sering menyadari apa yang kita inginkan. Anak kecil sering kali membutuhkan perhatian orang tuanya, sehingga ‘rela’ (tanpa sadar) untuk melakukan hal yang mendatangkan hukuman. Walaupun ia tidak suka dihukum, tetapi ia butuh perhatian. Dan hukuman adalah perhatian. Anak teman saya terus saja mempermainkan pintu kulkas, walaupun sudah berkali-kali dilarang. Sebabnya, kalau ia tidak nakal, ibunya asyik nontot sinetron. Ibunya hanya memperhatikan dia kalau dia nakal (main-main pintu kulkas). Sang anak tidak menyadari bahwa ia butuh perhatian. Perokok tidak menyadari apa kebutuhan yang menyebabkan ia merokok.
3. Kebiasan hanya terbentuk setelah pernah dicoba
Tidak ada orang yang punya kebiasaan makan nasi sebelum ia pernah mencoba makan nasi. Kebiasaan hanya terbentuk setelah pernah dicoba. Kalau percobaan mendatangkan akibat positif, percobaan akan diulangi dan lama-lama menjadi kebiasaan. Merokok jadi kebiasaan kalau percobaan pertama memberikan akibat positif. Tapi akibat positif dihayati ketika seseorang mendapatkan kebutuhan yang mungkin tidak ia sadari. Anak yang dihukum oleh ibunya karena ketahuan merokok, tampaknya mendapat akibat negatif (hukuman), tapi barang kali disamping akibat negatif itu ia juga menghayati akibat-akibat positif yang tidak disadari (penerimaan oleh kawan-kawan, dan mungkin juga merasa diperhatikan karena dimarahi)
4. Kebiasaan menguat kalau sering dijalankan
Makin sering sesereoang ke kantor melalui rute tertentu atau dengan cara tertentu, makin kuat kebiasaan itu. Makin sering orang merokok, makin kuat kebiasaan untuk merokok
5. Kebiasaan bisa diubah
Setelah nikah banyak wanita yang memutuskan mengubah tanda tangannya. Lalu akhirnya sebuah kebiasaan lama bertukar jadi kebiasaan baru. Sepanjang kehidupan seseorang tanpa sadar telah melakukan banyak perubahan kebiasaan. Intinya kebiasaan bisa diubah, termasuk kebiasaan merokok.
6. Perubahan kebiasaan membutuhkan tekad
Ketika memulai kebiasaan baru, tidak jarang orang ‘lupa’ dan secara otomatis menampilkan kebiasaan lamanya. Orang yang telah mengganti tanda tangannya, pada masa-masa permulan sering lupa. Agar berhasil membuat refleks baru, proses pembentukan refleks baru itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Siswa kursus mengetik harus perlahan-lahan membiasakan diri meninggalkan kebiasaan mengetik 11 jari menjadi 10 jari. Mulai mulai makan bersama mertua, Dony harus sangat menyadari bahwa ia harus memotong daging dengan garpu dan pisau, bukan langsung memegang daging dan memotongnya dengan gigi. Orang yang abru mulai kebiasaan tidak-merokok jugha sering lupa dan mengulangi kebiasaan lama.
7. Merokok adalah kebiasaan, bukan kebutuhan dasar
Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
8. Menyalakan rokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekurangan nikotin.
Setelah satu jam tidak merokok, seseorang yang terbiasa menyalakan rokok baru setiap 1 jam, tanpa terlalu sadar menyalakan rokok baru. Dia bilang, tubuhnya sudah kekurangan nikotin, karena sudah satu jam tidak merokok. Padahal, kalau dia misalnya tertidur karena kecapaian selama 12 jam, dia tidak merasakan kekurangan nikotin. Kalau dia bercinta dengan pasangan yang menggariahkan selama beberapa jam, ia lupa akan kebutuhan nikotinnya. Dia sebetulnya merokok, karena ingat. Merokok dirangsang oleh pikiran, bukan oleh kekurangan nikotin
9. Merokok memuaskan kebutuhan psikologis
Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok. Dan dengan memperhatikan bahwa ada saat saat orang jadi lebih sering merokok dan disaat lain jarang merokok, harus disimpulkan bahwa merokok lebih merupakan cara memuaskan kebutuhan psikologis dan bukan memuaskan kebutuhan sikotin. Yang sulit, banyak orang tidak sadar kebutuhan psikologis apa yang membuatnya membutuhkan rokok.
10. Pecuma menakut-nakuti perokok
Banyak perokok berusia lanjut yang lebih sehat dari orang mudah yang tidak merokok. Perokok percaya bahwa merorok tidak langsung merusak kesehatan. Perokok juga tahu bahwa tiap perokok aktif adalah sekaliigus perokok pasif, karena perokok juga menghirup udara yang mengandung nikotin. Karena itu perokok fanatik akan menertawakan teori yang mengatakan bahwa perokok pasif lebih riskan. Mereka akan berkata, kalau benar perokok pasif itu lebih riskan, kan sebaiknya jadi perokok aktif.Berbedat dengan perokok tentang bahaya merokok tidak membuat perokok ingin berhenti merokok. Barangkali perdebatan itu justru memuaskan kebutuhan untuk “berperang” yang sebetulnya juga merupakan kebutuhan yang melahirkan kebiasaan merokok.
11. Tidak ada resep generik untuk menghentikan kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok bisa diubah. Tetapi cara yang efektif untuk orang tertentu belum tentu efektif untuk orang lain. Tiap-tiap orang akan menemukan caranya sendiri, beberapa diantaranya ditemukan secara kebetulan. Yang palingpenting mengubah kebiasaan membutuhkan tekad. Jika orang hanya terpakasa mengubah kebiasaannya, tanpa kesediaan untuk berubah, maka satu saat kebiasaan itu akan kambuh lagi. Karena merokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekuarangan nikotin
1. Fakta: Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Teori: Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
2. Fakta: Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Teori: Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok.
3. Fakta: Ada orang yang ketagihan rokokTeori: Nikotin menyebabkan ketagihan. Ada orang yang membutuhkan nikotin.
4. Fakta: Banyak orang gagal berhenti merokok walaupun ia tetap memperoleh nikotin melalui hal lain (misalnya permen yang mengandung nikotin) Teori: Yang menyebabkan ketagihan bukan nikotin, yang dinikmati bukan nikotin tetapi kegiatan merokok. Dengan kata lain, Merokok adalah Kebutuhan Psikologis.
5. Fakta: Banyak perokok yang biasanya bisa menghabiskan 4 atau 5 batang dalam waktu 1 atau dua jam, bisa tidak ingat untuk merokok ketika sedang terlibat kegiatan yang menyenangkan atau melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh perhatian. (misal sedang menyelam, sedang berolah raga, sedang bercumbu) Teori: Orang merokok, dipacu oleh situasi. Orang bukan ketagihan pada nikotin tetapi ketagihan pada kegiatan merokok.
6. Fakta: Tidak ada orang yang merokok pada saat sedang tidur. Jika orang kecapaian sehingga tidur jauh lebih lama dari biasanya maka selama itu pula ia tidak merokok. Selama itu pula tubuhnya tidak mendapatkan suplai nikotin, tapa membuatnya jadi gelisah. Padahal kalau dalam keadaan bangun mungkin tiap jam ia ingin merokokTeori: Yang menyebabkan keinginan merokok bukan keadaan kekurangan nikotin, tetapi pikiran.
7. Fakta: Ada orang yang susah berhenti merokok, ada orang yang bisa berhenti merokok, Teori: Orang yang berhenti merokok sudah tidak membutuhkan rokok, atau sudah mendapatkan hal lain sebagai pengganti rokok.
8. Fakta: Tiap perokok aktif adalah sekaligus perokok pasif (karena ia juga menghirup kembali udara disekitar yang penuh asap rokok).Teori: Tidak masuk akal bahwa perokok pasif lebih riskan terhadap bahaya merokok. Seandainya perokok pasif yang lebih riskan, lebih sekalian jadi perokok aktif.
9. Fakta: Ada banyak perokok yang lebih sehat dari orang yang tidak merokok.Teori: Tidak ada gunanya menakut-nakuti perokok bahwa kesehatannya akan terganggu. Perokok percaya bahwa merokok tidak otomatis mengganggu kesehatan. Harus dicari cara lain untuk membujuk perokok menghentikan kebiasaannya.
10. Fakta: Banyak kebiasaan yang bisa berubah tanpa disengaja, dan banyak kebiasaan yang gagal diubah melalui usaha yang sengaja.Teori: Tidak ada resep untuk menghentikan kebiasaan. Kebiasaan berhenti kalau diganti kebiasaan baru. Kebiasaan baru bisa muncul dengan sendirinya (secara tiba-tiba).
11. Fakta: Kebiasaan bisa diubah melalui kontrol kesadaran. Wanita yang menikah biasanya mengubah tanda tangannya. Awal prosesnya harus melalui kesadaran. Murid pelajaran bahasa Inggris bisa mengubah caranya mengucapkan kata-kata tertentu, tetapi awalnya harus ia lakukan dengan penuh kesadaran. Orang bisa mengubah kebiasan menyetir mobil waktu ganti mobil baru yang tombol-tombolnya berada ditempat berbeda.Teori: Perubahan kebiasaan memerlukan tekad dan harus terus menerus disadari
12. Fakta: Kecenderung untuk menampilkan sebuah tingkah laku, menjadi makin kuat jika tingkah laku sering ditampilkan, lebih-lebih jika penampilan tingkah laku itu menghasilkan akibat positif.Teori: Makin lama seseorang berhenti merokok, makin besar kemungkinan ia menghentikan kebiasaannya.
1. Tingkah laku adalah alternatif cara memuaskan kebutuhan.
Orang yang lapar membutuhkan sat makanan, tetapi sat makanan tidak harus berupa nasi. Sebetulnya, makan nasi hanyalah alternatif cara memuaskan kebutuhan akan sat makanan. Namun demikian, banyak orang yang mencari nasi ketika lapar. Ini disebabkan oleh kebiasaan. Merokok adalah juga tingkahlaku yang hanya merupakan alternatif untuk memuaskan sebuah kebutuhan
2. Ada kebutuhan yang tidak disadari
Tidak semua orang sadar apa yang sebetulnya ia butuhkan. Kita lebih sering menyadari apa yang kita inginkan. Anak kecil sering kali membutuhkan perhatian orang tuanya, sehingga ‘rela’ (tanpa sadar) untuk melakukan hal yang mendatangkan hukuman. Walaupun ia tidak suka dihukum, tetapi ia butuh perhatian. Dan hukuman adalah perhatian. Anak teman saya terus saja mempermainkan pintu kulkas, walaupun sudah berkali-kali dilarang. Sebabnya, kalau ia tidak nakal, ibunya asyik nontot sinetron. Ibunya hanya memperhatikan dia kalau dia nakal (main-main pintu kulkas). Sang anak tidak menyadari bahwa ia butuh perhatian. Perokok tidak menyadari apa kebutuhan yang menyebabkan ia merokok.
3. Kebiasan hanya terbentuk setelah pernah dicoba
Tidak ada orang yang punya kebiasaan makan nasi sebelum ia pernah mencoba makan nasi. Kebiasaan hanya terbentuk setelah pernah dicoba. Kalau percobaan mendatangkan akibat positif, percobaan akan diulangi dan lama-lama menjadi kebiasaan. Merokok jadi kebiasaan kalau percobaan pertama memberikan akibat positif. Tapi akibat positif dihayati ketika seseorang mendapatkan kebutuhan yang mungkin tidak ia sadari. Anak yang dihukum oleh ibunya karena ketahuan merokok, tampaknya mendapat akibat negatif (hukuman), tapi barang kali disamping akibat negatif itu ia juga menghayati akibat-akibat positif yang tidak disadari (penerimaan oleh kawan-kawan, dan mungkin juga merasa diperhatikan karena dimarahi)
4. Kebiasaan menguat kalau sering dijalankan
Makin sering sesereoang ke kantor melalui rute tertentu atau dengan cara tertentu, makin kuat kebiasaan itu. Makin sering orang merokok, makin kuat kebiasaan untuk merokok
5. Kebiasaan bisa diubah
Setelah nikah banyak wanita yang memutuskan mengubah tanda tangannya. Lalu akhirnya sebuah kebiasaan lama bertukar jadi kebiasaan baru. Sepanjang kehidupan seseorang tanpa sadar telah melakukan banyak perubahan kebiasaan. Intinya kebiasaan bisa diubah, termasuk kebiasaan merokok.
6. Perubahan kebiasaan membutuhkan tekad
Ketika memulai kebiasaan baru, tidak jarang orang ‘lupa’ dan secara otomatis menampilkan kebiasaan lamanya. Orang yang telah mengganti tanda tangannya, pada masa-masa permulan sering lupa. Agar berhasil membuat refleks baru, proses pembentukan refleks baru itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Siswa kursus mengetik harus perlahan-lahan membiasakan diri meninggalkan kebiasaan mengetik 11 jari menjadi 10 jari. Mulai mulai makan bersama mertua, Dony harus sangat menyadari bahwa ia harus memotong daging dengan garpu dan pisau, bukan langsung memegang daging dan memotongnya dengan gigi. Orang yang abru mulai kebiasaan tidak-merokok jugha sering lupa dan mengulangi kebiasaan lama.
7. Merokok adalah kebiasaan, bukan kebutuhan dasar
Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
8. Menyalakan rokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekurangan nikotin.
Setelah satu jam tidak merokok, seseorang yang terbiasa menyalakan rokok baru setiap 1 jam, tanpa terlalu sadar menyalakan rokok baru. Dia bilang, tubuhnya sudah kekurangan nikotin, karena sudah satu jam tidak merokok. Padahal, kalau dia misalnya tertidur karena kecapaian selama 12 jam, dia tidak merasakan kekurangan nikotin. Kalau dia bercinta dengan pasangan yang menggariahkan selama beberapa jam, ia lupa akan kebutuhan nikotinnya. Dia sebetulnya merokok, karena ingat. Merokok dirangsang oleh pikiran, bukan oleh kekurangan nikotin
9. Merokok memuaskan kebutuhan psikologis
Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok. Dan dengan memperhatikan bahwa ada saat saat orang jadi lebih sering merokok dan disaat lain jarang merokok, harus disimpulkan bahwa merokok lebih merupakan cara memuaskan kebutuhan psikologis dan bukan memuaskan kebutuhan sikotin. Yang sulit, banyak orang tidak sadar kebutuhan psikologis apa yang membuatnya membutuhkan rokok.
10. Pecuma menakut-nakuti perokok
Banyak perokok berusia lanjut yang lebih sehat dari orang mudah yang tidak merokok. Perokok percaya bahwa merorok tidak langsung merusak kesehatan. Perokok juga tahu bahwa tiap perokok aktif adalah sekaliigus perokok pasif, karena perokok juga menghirup udara yang mengandung nikotin. Karena itu perokok fanatik akan menertawakan teori yang mengatakan bahwa perokok pasif lebih riskan. Mereka akan berkata, kalau benar perokok pasif itu lebih riskan, kan sebaiknya jadi perokok aktif.Berbedat dengan perokok tentang bahaya merokok tidak membuat perokok ingin berhenti merokok. Barangkali perdebatan itu justru memuaskan kebutuhan untuk “berperang” yang sebetulnya juga merupakan kebutuhan yang melahirkan kebiasaan merokok.
11. Tidak ada resep generik untuk menghentikan kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok bisa diubah. Tetapi cara yang efektif untuk orang tertentu belum tentu efektif untuk orang lain. Tiap-tiap orang akan menemukan caranya sendiri, beberapa diantaranya ditemukan secara kebetulan. Yang palingpenting mengubah kebiasaan membutuhkan tekad. Jika orang hanya terpakasa mengubah kebiasaannya, tanpa kesediaan untuk berubah, maka satu saat kebiasaan itu akan kambuh lagi. Karena merokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekuarangan nikotin
1. Fakta: Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Teori: Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
2. Fakta: Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Teori: Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok.
3. Fakta: Ada orang yang ketagihan rokokTeori: Nikotin menyebabkan ketagihan. Ada orang yang membutuhkan nikotin.
4. Fakta: Banyak orang gagal berhenti merokok walaupun ia tetap memperoleh nikotin melalui hal lain (misalnya permen yang mengandung nikotin) Teori: Yang menyebabkan ketagihan bukan nikotin, yang dinikmati bukan nikotin tetapi kegiatan merokok. Dengan kata lain, Merokok adalah Kebutuhan Psikologis.
5. Fakta: Banyak perokok yang biasanya bisa menghabiskan 4 atau 5 batang dalam waktu 1 atau dua jam, bisa tidak ingat untuk merokok ketika sedang terlibat kegiatan yang menyenangkan atau melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh perhatian. (misal sedang menyelam, sedang berolah raga, sedang bercumbu) Teori: Orang merokok, dipacu oleh situasi. Orang bukan ketagihan pada nikotin tetapi ketagihan pada kegiatan merokok.
6. Fakta: Tidak ada orang yang merokok pada saat sedang tidur. Jika orang kecapaian sehingga tidur jauh lebih lama dari biasanya maka selama itu pula ia tidak merokok. Selama itu pula tubuhnya tidak mendapatkan suplai nikotin, tapa membuatnya jadi gelisah. Padahal kalau dalam keadaan bangun mungkin tiap jam ia ingin merokokTeori: Yang menyebabkan keinginan merokok bukan keadaan kekurangan nikotin, tetapi pikiran.
7. Fakta: Ada orang yang susah berhenti merokok, ada orang yang bisa berhenti merokok, Teori: Orang yang berhenti merokok sudah tidak membutuhkan rokok, atau sudah mendapatkan hal lain sebagai pengganti rokok.
8. Fakta: Tiap perokok aktif adalah sekaligus perokok pasif (karena ia juga menghirup kembali udara disekitar yang penuh asap rokok).Teori: Tidak masuk akal bahwa perokok pasif lebih riskan terhadap bahaya merokok. Seandainya perokok pasif yang lebih riskan, lebih sekalian jadi perokok aktif.
9. Fakta: Ada banyak perokok yang lebih sehat dari orang yang tidak merokok.Teori: Tidak ada gunanya menakut-nakuti perokok bahwa kesehatannya akan terganggu. Perokok percaya bahwa merokok tidak otomatis mengganggu kesehatan. Harus dicari cara lain untuk membujuk perokok menghentikan kebiasaannya.
10. Fakta: Banyak kebiasaan yang bisa berubah tanpa disengaja, dan banyak kebiasaan yang gagal diubah melalui usaha yang sengaja.Teori: Tidak ada resep untuk menghentikan kebiasaan. Kebiasaan berhenti kalau diganti kebiasaan baru. Kebiasaan baru bisa muncul dengan sendirinya (secara tiba-tiba).
11. Fakta: Kebiasaan bisa diubah melalui kontrol kesadaran. Wanita yang menikah biasanya mengubah tanda tangannya. Awal prosesnya harus melalui kesadaran. Murid pelajaran bahasa Inggris bisa mengubah caranya mengucapkan kata-kata tertentu, tetapi awalnya harus ia lakukan dengan penuh kesadaran. Orang bisa mengubah kebiasan menyetir mobil waktu ganti mobil baru yang tombol-tombolnya berada ditempat berbeda.Teori: Perubahan kebiasaan memerlukan tekad dan harus terus menerus disadari
12. Fakta: Kecenderung untuk menampilkan sebuah tingkah laku, menjadi makin kuat jika tingkah laku sering ditampilkan, lebih-lebih jika penampilan tingkah laku itu menghasilkan akibat positif.Teori: Makin lama seseorang berhenti merokok, makin besar kemungkinan ia menghentikan kebiasaannya.
Teori Perilaku Merokok
3 May
2009 — maman
1.
Pengertian Perilaku Merokok
Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai
dalam pendapat bahwa pokok persoalan psikologi adalah perilaku, namun tetap
terdapat perbedaan yang besar sekali dalam pendapat mereka mengenai hal-hal apa
saja tepatnya yang harus dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut. Dalam
pengertian paling luas, perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau
dialami seseorang. Ide-ide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari,
menggerakkan sesuatu, semuanya itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku
adalah sebarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan
oleh suatu organisme. Sedangkan menurut pengertian yang lebih sempit, perilaku
hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif (Chaplin,
2005). Hampir sama dengan definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa tahun)
menyatakan bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang dapat
dideteksi. Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh faktor
stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus eksternal.
Seperti halnya perilaku lain, perilaku
merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor
psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan
faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman
sebaya). Sari dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas
menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Menurut
Ogawa (dalam Triyanti, 2006) dahulu perilaku merokok disebut sebagai suatu
kebiasaan atau ketagihan, tetapi dewasa ini merokok disebut sebagai tobacco
dependency atau ketergantungan tembakau. Tobacco dependency sendiri
dapat didefinisikan sebagai perlaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya
lebih dari setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang
disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Perilaku merokok
dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan
perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan
fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari & Helmi, 2000). Sementara
Leventhal & Cleary (1980) menyatakan bahwa perilaku merokok terbentuk
melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a
smoker, dan maintenance of smoking.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup
asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok yang dilakukan secara menetap dan
terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation,
becoming a smoker, dan maintenance of smoking.
1.
Etiologi Perilaku Merokok Pada Remaja
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
etiologi perilaku merokok pada remaja, akan dibahas terlebih dahulu definisi
remaja. Remaja atau adolescene berasal dari bahasa latin adolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Istilah ini mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Menurut Piaget (dalam Hurlock,
1999) secara psikologis masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah usia di mana anak tidak lagi
merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat,
mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.
Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas dari
cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan
sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari
periode perkembangan. Monks (1999) membagi masa remaja menjadi tiga kelompok
tahap usia perkembangan, yaitu early adolescence (remaja awal) yang
berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun, middle adolescence
(remaja pertengahan) yang berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun, dan late
adolescence (remaja akhir) yang berada pada usia 18 sampai 21 tahun.
Dalam membahas etiologi (penyebab)
gangguan penyalahgunaan dan ketergantungan zat ¾ termasuk perilaku
merokok, harus dipahami bahwa seorang individu menjadi tergantung pada zat
umumnya melalui suatu proses. Pertama, orang yang bersangkutan harus mempunyai
sikap positif terhadap zat tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan
menggunakannya, mulai menggunakannya secara teratur, menggunakannya secara
berlebihan, dan terakhir menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara
fisik padanya. Setelah menggunakannya secara berlebihan dalam waktu lama, orang
yang bersangkutan akan terikat oleh proses-proses biologis toleransi dan putus
zat (Davison dkk, 2006). Secara lebih spesifik, Kurt Lewin (dalam Komalasari
& Helmi, 2000) berpendapat bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan
faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Berbagai
penelitian di beberapa negara telah dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja
yang berperan terhadap perilaku merokok pada remaja. Beberapa penelitian yang
dilakukan terhadap para remaja menghubungkan perilaku merokok ini dengan etnis
(Scragg dkk, 2002), usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua, perilaku
merokok orang tua, jumlah uang saku (Rachiotis dkk, 2008; Paavola dkk, 2004),
perilaku merokok teman (Siziya dkk, 2007), dan intensitas melihat iklan rokok
(Siziya dkk, 2008; López dkk, 2004). Berikut ini adalah penjelasan beberapa
faktor yang berperan dalam perilaku merokok pada remaja:
1.
Faktor Individu
Erik H. Erikson (dalam Komalasari
& Helmi, 2000) menyatakan bahwa keputusan seorang remaja untuk merokok
berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa
perkembangannya, yaitu masa mencari identitas diri seperti usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini,
sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara
perkembangan psikis dan sosial. Tugas utama seorang remaja adalah
mengintegrasikan berbagai macam identifikasi yang mereka bawa dari masa
kanak-kanak menuju identitas yang lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk
menemukan identitas diri tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh
karenanya beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara
kompensatoris.
Di sisi lain, saat pertama kali
mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah
terasa getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari para pemula
tersebut mengabaikan perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan,
dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai
kenikmatan yang memberikan kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan
dari konsep tobacco dependency (ketergantungan rokok). Artinya,
perilaku merokok merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi
aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin adalah
adiktif, jika dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak
nyaman. Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan
dan lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai
kenikmatan sehingga dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti
merokok (Komalasari & Helmi, 2000).
Selain karena krisis psikososial dan
kepuasan psikologis, perilaku merokok pada remaja juga dapat timbul karena
pengaruh emosi yang menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Merokok
dianggap dapat memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang
menyenangkan, relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam
Komalasari & Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai
tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak
dan kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini
sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stres. Remaja yang
mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu
cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan
ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan
oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang
menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan
dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59 persen
(http://lifestyle.okezone.com).
Keterhubungan antara perilaku merokok
dan stres telah diteliti oleh para ahli sejak tiga dekade yang lalu. Fink
(2007) mencatat bahwa terdapat beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa
secara klinis dan teoritis memang terdapat hubungan yang signifikan antara
perilaku merokok, stres, dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti
gangguan major depressive, berbagai macam gangguan kecemasan,
schizophrenia, gangguan kepribadian antisosial, dan individu dengan trait
kepribadian tertentu yang menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres
pribadi lebih mungkin untuk merokok. Contohnya, trait kepribadian neuroticism
(kecenderungan umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres) ternyata berhubungan
dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian
terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan bahwa
faktor genetis memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan respon
terhadap stres. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak gen yang
berperan ganda, mempengaruhi seorang individu untuk merokok dan membuat seorang
individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan gangguan psikiatri yang
berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga seringkali digunakan sebagai
cara untuk mengatasi stres meskipun merokok bukanlah cara coping yang sehat
atau menguntungkan (Wills & Cleary dalam Davison, 2006). Seorang mantan
perokok seringkali memutuskan untuk mulai merokok lagi ketika mereka mengalami
stres karena kebanyakan perokok telah belajar bahwa merokok merupakan cara
untuk mengurangi stres (Brandon, 2000). Hal ini berarti bahwa perilaku merokok
akan terjadi dan akan dialami sebagai sebuah ganjaran (reward) bagi
para perokok (Fink, 2007).
Faktor
Lingkungan
Bandura dalam teori social
learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seorang remaja
terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan
sosial interpersonal. Perilaku bermasalah pada remaja, termasuk merokok,
merupakan hasil interaksi antara variabel interpersonal seperti kepribadian,
sikap, dan perilaku, dengan sistem lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan
teman sebaya (Jessor & Jessor dalam Richardson dkk, 2002).
Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur
keluarga, riwayat, pola hubungan orang tua-anak, pola asuh, dan perilaku
merokok orang tua. Struktur keluarga memainkan peran yang cukup signifikan
dalam hal ini, misalnya dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian
orang tua meningkatkan resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams,
2005). Di samping struktur keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang
tidak kalah pentingnya. Keluarga dengan riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan,
dan pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan penyalahgunaan zat pada
remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam sebuah
keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku merokok,
misalnya dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan yang lebih ketat
akan menurunkan tingkat perilaku merokok secara signifikan (Guo dkk dalam
Gullota & Adams, 2005). Pola asuh adalah faktor lain yang mempengaruhi
perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa perilaku merokok
berhubungan dengan pola asuh permisif dan rendahnya tingkat kelekatan. Selain
itu, penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok
orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja.
Conrad, Flay, dan Hill (dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13
penelitian yang direview, perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi
prediktor munculnya perilaku merokok pada usia remaja.
Perilaku merokok juga dapat disebabkan
oleh pengaruh kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya seringkali
menjadi faktor utama dalam masalah penggunaan zat oleh remaja (Richardson dkk,
2002). Selama masa remaja, seorang individu mulai menghabiskan lebih banyak
waktu dengan teman sebayanya daripada dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa
teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti bagi remaja, karena masa
tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai bergabung pada
kelompok sebaya. Kebutuhan untuk diterima sering kali membuat remaja berbuat
apa saja agar dapat diterima kelompoknya dan terbebas dari sebutan “pengecut”
dan “banci” (Komalasari & Helmi, 2000). Memiliki teman-teman yang merokok
memprediksi kebiasaan merokok pada seorang individu (Davison dkk, 2006). Sikap
teman sebaya terhadap penggunaan berbagai zat termasuk nikotin dapat
mempengaruhi individu untuk menggunakan zat tersebut. Dalam sebuah penelitian
longitudinal ditemukan bahwa para pemuda New York yang pernah berhubungan
dengan teman sebaya yang merokok atau memakai mariyuana lebih mungkin untuk
memakai mariyuana dalam rentang kehidupan mereka (Brook dkk dalam Gullota &
Adams, 2005). Harlianti (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa
lingkungan sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam
penelitian lain terungkap bahwa identifikasi kelompok sebaya di kelas 7
memprediksi kebiasaan merokok di kelas 8. Meskipun pengaruh teman-teman sebaya
adalah penting dalam pengambilan keputusan yang dilakukan para remaja untuk
menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki rasa efektivitas diri yang
tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka. Para remaja
yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan pernyataan seperti “Saya dapat
membayangkan diri saya menolak memakai tembakau bersama pelajar seusia saya dan
mereka tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam Davison dkk, 2006).
Di samping karena pengaruh teman
sebaya dan lingkungan keluarga, perilaku merokok juga dapat muncul sebagai
akibat dari iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan media
massa yang saat ini makin merajalela sangat menarik bagi para remaja
(Widiyarso, 2008). Menurut López dkk (2004), beberapa penelitian telah
menghasilkan temuan adanya hubungan yang cukup signifikan antara keterpaparan
terhadap iklan rokok dengan perilaku merokok pada remaja. Melihat iklan di media
massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang
kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk
mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002).
Iklan rokok Joe Camel telah dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta
anak-anak di Amerika untuk merokok antara tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam
López dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat usaha orang tua
melarang anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku
anak-anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya
(Mu’tadin, 2002).
1.
Faktor Demografis
Demografis berarti variabel-variabel
kependudukan, termasuk distribusi geografis, statistik vital, situasi fisik,
dan seterusnya (Chaplin, 2005). Beberapa faktor demografis yang berhubungan
dengan perilaku merokok adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta
tingkat sosial ekonomi.
Dalam sebuah penelitian terhadap para
remaja didapatkan temuan bahwa remaja berusia 16-17 tahun mempunyai kemungkinan
lima kali lebih besar untuk merokok (dengan prevalensi sebesar 48,2% pada
remaja pria dan 47,6% pada remaja putri) dibandingkan remaja berusia 11-12
tahun (dengan prevalensi sebesar 9,4% pada remaja pria dan 12,8% pada remaja
putri) (Rachiotis dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok
lebih tinggi pada kelompok usia tertentu.
Selain faktor usia, jenis kelamin
mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Rachiotis dkk
(2008) mencatat bahwa dalam berbagai penelitian telah terungkap kecenderungan
yang lebih tinggi pada pria untuk merokok dibanding perempuan. Namun pada
beberapa negara tertentu, prevalensi perilaku merokok pada remaja putri lebih
tinggi daripada remaja putra seperti di Swedia (13,7% vs 5,5%), Norwegia (19.9%
vs 15.4%), Austria (24.7% vs 19.5%), Belgia (19.0 vs16.8%) dan Finlandia (18.0
vs 16.4), sementara pada negara-negara lain (seperti Yunani, Jepang, Malawi,
dan Etiopia) prevalensi perilaku merokok tetap lebih tinggi pada remaja pria.
Penelitian menunjukkan signifikansi
ras dan etnis dalam masalah perilaku merokok pada remaja (Ellickson dkk, 2004
dan Davison dkk, 2006). Orang kulit putih dan hispanik mempunyai kecenderungan
lebih besar untuk merokok dan mulai merokok pada usia lebih muda dibanding
orang-orang Afrika Amerika. Sementara orang Asia memperlihatkan tingkat
perilaku merokok yang lebih rendah dibanding orang kulit putih dan Hispanik.
Perbedaan perilaku merokok antar etnis ini dipengaruhi oleh setidaknya empat
faktor psikososial, yaitu: pertalian sosial (keluarga, sekolah, agama),
pengaruh lingkungan yang mendukung perilaku merokok, penanganan masalah-masalah
yang berhubungan dengan perilaku, dan sikap mendukung perilaku merokok.
Dibandingkan orang kulit putih, orang Hispanik dan Asia menunjukkan tingkat
kelekatan terhadap keluarga yang lebih tinggi, dan orang Asia menunjukkan
komitmen yang lebih besar terhadap pencapaian prestasi akademis yang berakibat
menjadikan mereka tidak mudah terpengaruh oleh sikap lingkungan yang mendukung
perilaku merokok. Orang Afrika Amerika mempunyai keterikatan yang kuat dengan
agama dan sikap orang tua lebih cenderung menolak rokok, sebaliknya orang kulit
putih biasanya mempunyai lebih banyak teman yang merokok dan menerima dengan
begitu saja apa yang mereka lakukan sehingga mereka lebih mudah terpengaruh
oleh perilaku merokok teman sebaya dan orangtua. (Ellickson dkk, 2004). Selama
bertahun-tahun telah diketahui bahwa para perokok etnis Afrika Amerika
mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk berhenti merokok dan lebih mungkin,
jika mereka tetap mempertahankan kebiasaannya, menderita kanker paru-paru
karena nikotin tersimpan di dalam darah mereka untuk waktu yang lebih lama
dibanding orang-orang kulit putih, yang berarti mereka memetabolisasi nikotin
lebih lambat. Juga diketahui bahwa etnis Afrika Amerika menghirup jauh lebih
banyak nikotin dari setiap rokok yang dihisap karena mereka lebih sedikit
menghembuskan asap dan menghisap rokok lebih dalam (Davison dkk, 2006).
Status sosial ekonomi yang terdiri
dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga mempunyai hubungan yang
cukup signifikan dengan perilaku merokok. Pada banyak negara berkembang,
prevalensi perilaku merokok menjadi lebih besar pada kelompok sosial ekonomi
rendah (Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004). Dalam sebuah penelitian di
Finlandia Timur terungkap bahwa anak-anak dari para pekerja kerah biru (buruh) lebih
banyak yang merokok dibandingkan anak-anak dari para pekerja kerah putih
(pegawai kantor) atau petani. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa status
sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai keterhubungan yang kuat
dengan perilaku merokok. Pada subjek kelompok usia 13 tahun, 10% anak-anak yang
tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merokok sementara
pada anak-anak yang melanjutkan hanya 4% yang merokok. Pada subjek kelompok
usia 28 tahun, 63% persen subjek yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok
sementara yang mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. Dari ketiga
variabel, satu-satunya variabel sosial ekonomi yang tidak berhubungan secara
signifikan dengan perilaku merokok adalah tingkat penghasilan (Paavola dkk,
2004). Seperti hasil penelitian Paavola dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam
penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria,
tingkat pendidikan orang tua yang semakin rendah, dan ketersediaan uang saku
yang cukup banyak pada masa remaja berhubungan secara signifikan dengan
perilaku merokok saat ini. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa
anak-anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih kecil
kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang hanya mengenyam
pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang
ayah, semakin jarang anak mereka yang menjadi perokok. Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa status sosial ekonomi, khususnya tingkat pendidikan sang ayah
lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja dibanding tingkat pendidikan sang
ibu. Sementara dari penelitian Scragg (2002) yang dilakukan terhadap para
remaja di Selandia Baru diketahui bahwa perilaku merokok berkorelasi positif
dengan jumlah uang saku yang diterima, namun tergantung pada status sosial
ekonomi. Kelompok remaja dengan status sosial ekonomi rendah yang menerima uang
saku lebih dari 30 dolar dalam 30 hari terakhir merupakan kelompok yang paling
besar kemungkinannya untuk merokok. Berbagai temuan tersebut mengindikasikan
bahwa perilaku merokok sangat erat hubungannya dengan status sosial ekonomi.
1.
Tahap-Tahap Perilaku Merokok
Pada dasarnya perilaku merokok
merupakan sebuah perilaku yang kompleks yang melibatkan beberapa tahap.
Perilaku merokok pada remaja umumnya melalui serangkaian tahapan yang ditandai
oleh frekuensi dan intensitas merokok yang berbeda pada setiap tahapnya (Mathew
dkk dalam Richardson, 2002), dan seringkali puncaknya adalah menjadi tergantung
pada nikotin. Menurut Leventhal & Cleary (1980) terdapat 4 tahap dalam
perilaku merokok sehingga seorang individu benar-benar menjadi perokok, yaitu:
a. Tahap Preparation
Pada tahap ini, seorang individu
mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok. Anak-anak
mengembangkan sikap terhadap rokok dan sebelum mencobanya mereka sudah
mempunyai gambaran seperti apa merokok itu. Sikap ini merupakan sesuatu yang
penting dalam perkembangan kebiasaan merokok nantinya. Dalam sebuah penelitian,
pernyataan yang dimaksudkan untuk mencoba rokok terbukti menjadi prediktor
terbaik bagi terbentuknya perilaku merokok selanjutnya. Tahap persiapan (prepatory
stage) melibatkan persepsi tentang apa yang dilibatkan dalam merokok dan
apa fungsi merokok. Para siswa sekolah berbeda dalam mendeskripsikan ciri
kepribadian perokok dan non-perokok; mereka menganggap perokok sebagai orang
yang bodoh, ceroboh, kuat, santai, malas, lebih sering mengalami masalah, dan
sebagainya. Menariknya, beberapa anak yang merokok memandang diri mereka
memiliki ciri-ciri tersebut. Mengapa gambaran ini menjadi pendorong untuk
merokok? Kemungkinannya adalah merokok memberikan kesan kuat, sebuah kemampuan
untuk menyatakan dorongan, bebas dari cengkeraman kekuasaan. Anak yang kurang
berhasil di sekolah, lebih banyak melawan, dan suka melakukan hal-hal yang
tidak sesuai dengan harapan orangtua atau tradisi, akan lebih mungkin tertarik
untuk merokok pada usia kanak-kanak dan mulai menggunakan rokok sebagai simbol
bahwa dirinya adalah kuat, keren, bebas dari cengkeraman kekuasaan, sebagaimana
mereka akan memakai obat-obatan untuk selanjutnya.
Anak-anak muda yang menganggap diri
mereka sebagai orang yang bebas mungkin merokok bukan untuk menuruti tekanan
teman sebaya. Anak muda yang merokok untuk pertama kalinya karena dorongan
teman-temannya mungkin memiliki alasan yang berbeda pada tahap persiapan.
Beberapa dari mereka mungkin merasa cemas dan tidak mampu sehingga mereka
merokok untuk bisa diterima secara sosial dan menjadi bagian dari gang.
Beberapa orang mulai mencoba rokok adalah untuk mengendalikan emosi seperti
kecemasan kerja. Merokok mungkin dianggap dapat meningkatkan performansi dalam
ujian dan memperbesar kesempatan seseorang untuk meraih prestasi akademik.
Hal-hal tersebut mungkin merupakan sesuatu yang penting bagi orang-orang yang
mulai merokok pada usia-usia remaja akhir atau dewasa awal, suatu jenis
perilaku merokok yang banyak ditemui pada mahasiswa kedokteran dan
mahasiswa-mahasiswa lainnya.
b. Tahap Initiation
Tahap initiation adalah tahap ketika
seseorang benar-benar merokok untuk pertama kalinya. Tahap ini merupakan tahap
kritis bagi seseorang untuk menuju tahap becoming a smoker. Pada tahap
ini, seorang individu akan memutuskan untuk melanjutkan percobaannya atau
tidak. Meskipun rasa serak yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok
merupakan faktor penting yang mendasari keputusan ini, tampaknya tidak mungkin
bahwa perbedaan individu dalam hal respon fisiologis terhadap rokok dan
terhadap rasa panas dapat dipandang sebagai alasan utama bagi mereka yang ingin
berhenti dan tidak menginginkannya. Timbulnya rasa sakit tidaklah cukup jadi
alasan untuk menghentikan atau meneruskan sebuah perilaku, bagaimana rasa sakit
itu didapatkan hendaknya juga dijelaskan, contohnya, tanda berupa rasa sakit
dan tanda bahaya pada diri seseorang merupakan hal penting yang mendorongnya
untuk mencari nasihat medis dan menganggap dirinya sedang menghadapi sebuah
risiko. Sensasi berbahaya yang dirasakan oleh tubuh namun ditafsiri sebagai
sesuatu yang tidak berbahaya lama-lama akan menjadi sesuatu yang biasa dan
berakibat pada diabaikannya sensasi tersebut. Hal tersebut memainkan peran
penting dalam adaptasi perilaku merokok.
Seiring dengan berjalannya waktu,
jelas akan ada perkembangan toleransi yang bersifat fisiologis terhadap efek
merokok. Pengalaman merokok, menjadi waspada, santai, dan segar yang dialami
sehari-hari dapat menjadi fakta yang nyata bahwa merokok memang bermanfaat.
Rasa sakit yang tidak terlalu kentara yang timbul ketika pertama kali mencoba
rokok, seperti rasa terbakar, rasa kesat, sengatan rasa panas dan asap rokok,
mungkin ditafsiri sebagai bukti bahwa merokok memang tidak berbahaya. Keyakinan
anak-anak bahwa merokok berbahaya bagi orang lain dan orang-orang yang lebih
tua dan bukan bagi diri mereka mungkin timbul dari pengalaman adaptasi (penyesuaian).
c. Tahap Becoming a Smoker
Salber dkk (dalam Leventhal dan Cleary, 1980) menyatakan
bahwa merokok empat batang rokok sudah cukup membuat orang untuk merokok pada
masa dewasa dan dapat membuat mereka jadi tergantung melalui percobaan berulang
dan pemakaian secara teratur. Data menunjukkan bahwa 85%-90% orang yang merokok
empat batang rokok akan merokok secara teratur yang secara tidak langsung
berarti bahwa percobaan merokok pada masa remaja akan mendorong mereka untuk
merokok ketika dewasa, baik ketika usia muda mereka ingin atau tidak ingin
menjadi perokok. Namun jelas bahwa banyak anak muda tidak sampai menghabiskan
empat batang rokok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80-90% pemuda mencoba
sedikitnya satu batang rokok, dan proporsi perokok pada siswa SD, SMP, dan SMA
jarang yang melebihi 50% dari anak-anak yang mencoba rokok.
Sesungguhnya data yang ada tampak
mendukung hipotesis bahwa dibutuhkan 2 tahun atau lebih untuk menjadi seorang
perokok berat (yang terus-menerus merokok) dihitung dari waktu pertama kali
merokok atau hanya kadang-kadang mencoba rokok: ini adalah tahap becoming a
smoker. Persentase pelajar yang merokok bertambah secara bertahap (7% pada
kelas 7 menjadi 46% pada kelas 11) dan jumlah rokok yang dikonsumsi juga
meningkat secara bertahap (1 batang seminggu 20 batang sehari), dengan
peningkatan yang cukup tinggi pada kelas 10, perempuan merokok 5-9 batang per
hari dan pria merokok 10-19 batang per hari.
d. Tahap Maintenance of Smoking
Pada tahap ini merokok sudah menjadi
bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating) seseorang dalam
berbagai situasi dan kesempatan. Merokok dilakukan untuk memperoleh
efek fisiologis yang menyenangkan (Leventhal & Cleary, 1980). Efek dari
perilaku merokok terutama berkaitan dengan relaksasi dan kenikmatan sensoris.
Nesbitt (dalam Christanto, 2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orang
yang merokok merasa rileks saat merokok karena mereka mengatribusikan semua
gejala yang muncul saat merokok ke dalam rokoknya. Senada dengan Nesbitt, Daniel
Horn, Direktur The National Clearing House for Smoking and Health yang
melakukan survei atas 5000 orang untuk mengetahui alasan-alasan mereka merokok
menemukan bahwa sebagian besar perokok (40-50%) merokok untuk meringankan
kecemasan dan ketegangan, sedangkan lainnya karena ingin memunculkan efek
stimulan (perangsang), iseng-iseng, dan merasa santai (Psikologi Indonesia
Forum, 2006). Karch (1998) yang meneliti efek nikotin terhadap kemampuan
sensoris, motorik, perhatian, dan kognitif menemukan bahwa nikotin tidak
berpengaruh terhadap kemampuan sensoris seseorang, namun mampu meningkatkan
performa motorik, perhatian, dan kognitif. Lebih spesifik dapat dijelaskan
bahwa dalam hal performa motorik, nikotin mampu meningkatkan tingkat ketukan
jari tangan dan keseimbangan tangan. Sedangkan dalam kemampuan perhatian dan
fungsi kognitif, nikotin meningkatkan kecepatan waktu reaksi dan menurunkan
tingkat kesalahan dalam merespon tugas-tugas yang membutuhkan perhatian. Dalam
eksperimen dengan tugas belajar kata-kata berpasangan, nikotin dapat
meningkatkan jumlah kata yang harus diingat, meningkatkan pengenalan terhadap
ingatan, mengurangi jumlah kesalahan, mengoptimalkan tingkat keterjagaan, dan
mempercepat waktu reaksi dalam tes ingatan Sternberg.
Pemahaman tentang fungsi pengaturan
sebuah perilaku mungkin penting untuk pengembangan teknik pengurangan dan
penghentian merokok yang mampu bertahan lama. Faktor-faktor yang berperan dalam
menetapnya perilaku merokok telah diselidiki, baik melalui pendekatan
psikologis maupun biologis. Sayangnya, dua pendekatan ini sering disajikan
sebagai sesuatu yang berbeda, yaitu fungsi-fungsi psikologis terlibat tidak
lebih untuk menyelidiki laporan tentang kepuasan merokok yang dirasakan oleh
perokok, sementara penelitian-penelitian biologi lebih banyak menjabarkan
mekanisme fisiologis yang mendasari perilaku merokok. Sebenarnya dua pendekatan
tersebut saling melengkapi dalam menjelaskan masalah yang sama. Tidak mungkin
seseorang mampu menjelaskan mekanisme biologis dalam perilaku merokok jika dia
tidak bisa menjelaskannya secara psikologis: Analisa biologis seringkali
mengikuti bentuk analisa psikologis. Paling tidak, analisa psikologis dapat
mempertajam pandangan tentang proses-proses yang mendasari sebuah respon dan
membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia merokok mungkin
mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan suatu mekanisme
biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya tahap-tahap
terbentuknya perilaku merokok ini maka diharapkan dapat dikembangkan strategi
untuk mengendalikan perilaku merokok pada remaja.
Kesimpulan didapat dari para peneliti
Belanda yang telah melakukan riset terhadap sejumlah merek rokok. Hasilnya
ditemukan hemoglobin babi pada filter rokok. Profesor Simon Chapman dari
Universitas Sydney mengatakan, penelitian ini menyibak komposisi rokok yang
selama ini memang sangat tertutup, dengan kedok rahasia perusahaan.
Prof
Chapman berpendapat, riset ini telah
mengakomodir kepentingan agama yang secara khusus melarang mengkonsumsi daging
babi, seperti bagi umat Muslim dan Yahudi. “Saya pikir, beberapa kelompok yang
sangat taat akan mengemukakan pendapat bahwa kandungan babi dalam rokok sangat
menyinggung,” kata Prof Chapman, seperti dikutip news.com.au, Selasa
(30/3/2010). “Tentu komunitas Yahudi akan menyikapi hal ini dengan sangat
serius. Begitu juga umat Islam serta para vegetarian,” tambah dia.
Penelitian
tersebut mengungkapkan, hemoglobin babi digunakan untuk membuat rokok filter
lebih efektif menahan bahan kimia berbahaya, sebelum perokok menghisap dan
masuk ke dalam paru-paru. Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi di
dalam sel darah merah. Fungsi unsur tersebut sebagai pengangkut oksigen dari
paru-paru ke seluruh tubuh hewan mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin
juga pengusung karbon dioksida kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan
keluar tubuh.
Setidaknya satu merek rokok yang
dijual di Yunani telah dikukuhkan menggunakan hemoglobin babi dalam proses
pembuatannya, tanpa diketahui para konsumen. Sayangnya tidak disebutkan nama
merek rokok tersebut. “Jika Anda seorang perokok dan beragama Islam atau
Yahudi, maka Anda mungkin ingin tahu bagiamana cara mengetahui apakah rokok
yang ada hisap mengandung hemoglobin babi atau tidak?” kata Prof Chapman
Nah,
setelah tahu berita tentang penelitian ini, apakah anda tetap mau merokok?
Walaupun fatwa haram tentang merokok telah dikeluarkan oleh MUI, apakah anda
yang beragama islam tetap akan merokok? Semua kembali ke pendapat
masing-masing.
Dikutip Dari:
Aritonang,
M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi Tidak Diterbitkan.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Atkinson,
Rita L; Atkinson, Richard C.; Smith, Edward E. dan Bem, Darly J. Tanpa tahun. Pengantar
Psikologi. Batam: Interaksara.
Brandon,
Ph.D., Thomas. 2000. Smoking, Stress, and Mood. H. Lee Moffit Cancer
Center and Research Institute at the University of South Florida.
Chaplin,
J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali
Pers.
Christanto, A. 2005. Merokok: Antara
Ya dan Tidak (Suatu Kajian Praktis Filsafat Ilmu), (online),
(http://www.mailarchive.com/dokter@yahoo- groups.com/msg0035.html, diakses 1
Maret 2009).
Cohen, Sheldon & Lichtenstein, Edward.
1990. Perceived Stress, Quitting Smoking, and Smoking Relaps. Health
Psychology, 9(4): 466-478.
Davison,
Gerald C.; Neale, John M. and Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi
ke-9). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ellickson,
Ph.D, Phyllis L.; Orlando, Ph.D, Maria; Tucker, Ph.D, Joan S. and Klein MS,
David J. 2004. From Adolescence to Young Adulthood: Racial/ Ethnic Disparities
in Smoking. American Journal of Public Health, 94(2): 293-299.
Enggarsasi,
Aries. 2008. Perbedaan Tingkat
Stres Antara Mahasiswa Berkepribadian Extrovert Dan Introvert Dalam Pengerjaan
Skripsi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Fink,
George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol I. 2nd ed. San
Diego: Academic Press.
Fink,
George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol II. 2nd ed. San
Diego: Academic Press.
Gullotta, Thomas P. & Adams,
Gerald R. 2005. Handbook of Adolescent Behavioral Problems: Evidence-Based
Approaches to Prevention and Treatment. New York: Springer Science.
Hurlock,
B.Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Terjemahan oleh Istidawanti & Soedjarwo. Jakarta:
Erlangga.
Karch,
M.D., Steven B. 1998. Drug Abuse Handbook. New York: CRC Press.
Komalasari,
Dian & Helmi, Avin Fadilla. 2000. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok
Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 28: 37-47.
Leventhal,
Howard & Cleary, Paul D. 1980. The Smoking Problem: A Review of the
Research and Theory in Behavioral Risk Modification. Psychological
Bulletin, 80(2): 370-405.
López, M.
Luisa; Herrero, Pablo; Comas, Angel; Leijs, Ingrid; Cueto, Antonio; Charlton,
Anne; Markham, Wolf and Vries, Hein de. 2004. Impact of Cigarette Advertising
on Smoking Behaviour in Spanish Adolescents as Measured Using Recognition of
Billboard Advertising. European Journal of Public Health, 14(4): 428
432.
Mappiare,
Andi. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Miller,
Patricia H. 1993. Theories of Developmental Psychology. 3rd
ed. New York: W. H. Freeman and Company.
Monks,
Prof. Dr. F.J. dkk. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai
bagiannya. 2002. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Mu’tadin,
Zainul. 2002. Remaja dan Rokok, (online), (http://herbalstoprokok.
wordpress.com/2009/02/04/remaja-dan-rokok, diakses 28 Februari 2009).
Paavola, Meri; Vartiainen, Erkki and
Haukkala, Ari. 2004. Smoking From Adolescence to Adulthood, the Effects
of Parental and Own Socioeconomic Status. European Journal of Public Health,
14(4): 417-420.
Psikologi
Indonesia Forum. 2006. Pengaruh terapi Hipnosa Terhadap intensitas Perilaku
Merokok di Kalangan Pria Dewasa Dini, (online), (http://groups.
google.co.id/group/psikologi-indonesia-forum/browse_thread/thread/6c3a8-daf8702f1f7/935da65c0ebf1f93%23935da65c0ebf,
diakses 3 Maret 2009)
Rachiotis,
George; Muula, Adamson S; Rudatsikira, Emmanuel; Siziya, Seter; Kyrlesi,
Athina; Gourgouliani, Konstantinos and Hadjichristodoulou, Christos. 2008.
Factors Associated With Adolescent Cigarette Smoking in Greece: Results From A
Cross Sectional Study (GYTS Study). BMC Public Health, 8: 313.
Remaja
Merokok, Salah Lingkungan?, (Online), (http://lifestyle.okezone.com/
index.php/ReadStory/2008/09/12/27/145232/remaja-merokok-salah-lingku-ngan,
diakses 25 Februari 2009).
Richardson,
Elizabeth E. Lloyd; Papandonatos, George; Kazura, Alessandra; Stanton,
Cassandra and Niaura, Raymond. 2002. Differentiating Stages of Smoking
Intensity Among Adolescents: Stage-Specific Psychological and Social
Influences. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 70(4):
998-1009.
Santrock,
John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Penerbit Erlanga.
Sari, Ari
Tris Ochtia; Ramdhani, Neila dan Eliza, Mira. 2003. Empati dan Perilaku Merokok
di Tempat Umum. Jurnal Psikologi, 30: 81-90.
Scragg,
Robert; Laugesen, Murray and Robinson, Elizabeth. 2002. Cigarette Smoking,
Pocket Money and Socioeconomic Status: Results From A National Survey of 4th
Form Students in 2000. The New Zealand Medical Journal, 115.
Siziya,
Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2007. Cigarette Smoking
Among School-Going Adolescents in Kafue, Zambia. Malawi Medical Journal,
19(2): 75-78.
Siziya,
Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2008. Prevalence and
Correlates of Current Cigarette Smoking Among Adolescents in East Timor-Leste. Indian
Pediatric, 45 : 963-968.
SSDC.
2000. Understanding Smoking Behavior, (online), (http://ssdc.ucsd.edu/
tobacco/reports/Chap3.pdf, diakses 3 Maret 2009).
Stevens,
M. 2001. The Joy of Not Smoking, (online),
(http://www.ubishops.ca/ccc/ div/soc/psy/Smokin01/Peers/body.htm, diakses 4
Maret 2009).
Su’udiyah,
Windawati. 2002. Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua dan Penyesuaian
Sosial Siswa Kelas II SLTPN I Pajarakan. Probolinggo. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Taylor,
Shelley E. 1991. Health Psychology, 2nd ed. Tokyo: Mc
Graw-Hill.
Triyanti.
2006. Kebiasaan Merokok, (online), (http://triyanti.blogspot.com/2007/
07/kebiasaan-merokok.html, diakses 27 Februari 2009).
Wagiatiningsih,
I.S. 2005. Persepsi Siswa SMA Terhadap Rokok dan Bahayanya Ditinjau dari
Status Remaja Sebagai Perokok dan bukan Perokok. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Widiyarso,
Joko. 2008. Iklan Rokok Merajalela, Remaja Perokok Meningkat,
(online), (http://gudeg.net/news/2008/05/3595/Iklan-Rokok-Merajalela,
Re-maja-Perokok-Meningkat.html, diakses 3 Maret 2009).
0 komentar:
Posting Komentar