Kamis, 07 Juni 2012

Teori dan Fakta Seputar Merokok


Fakta dan Teori di Balik Kebiasaan Merokok

1. Tingkah laku adalah alternatif cara memuaskan kebutuhan.
Orang yang lapar membutuhkan sat makanan, tetapi sat makanan tidak harus berupa nasi. Sebetulnya, makan nasi hanyalah alternatif cara memuaskan kebutuhan akan sat makanan. Namun demikian, banyak orang yang mencari nasi ketika lapar. Ini disebabkan oleh kebiasaan. Merokok adalah juga tingkahlaku yang hanya merupakan alternatif untuk memuaskan sebuah kebutuhan


2. Ada kebutuhan yang tidak disadari
Tidak semua orang sadar apa yang sebetulnya ia butuhkan. Kita lebih sering menyadari apa yang kita inginkan. Anak kecil sering kali membutuhkan perhatian orang tuanya, sehingga ‘rela’ (tanpa sadar) untuk melakukan hal yang mendatangkan hukuman. Walaupun ia tidak suka dihukum, tetapi ia butuh perhatian. Dan hukuman adalah perhatian. Anak teman saya terus saja mempermainkan pintu kulkas, walaupun sudah berkali-kali dilarang. Sebabnya, kalau ia tidak nakal, ibunya asyik nontot sinetron. Ibunya hanya memperhatikan dia kalau dia nakal (main-main pintu kulkas). Sang anak tidak menyadari bahwa ia butuh perhatian. Perokok tidak menyadari apa kebutuhan yang menyebabkan ia merokok.
3. Kebiasan hanya terbentuk setelah pernah dicoba
Tidak ada orang yang punya kebiasaan makan nasi sebelum ia pernah mencoba makan nasi. Kebiasaan hanya terbentuk setelah pernah dicoba. Kalau percobaan mendatangkan akibat positif, percobaan akan diulangi dan lama-lama menjadi kebiasaan. Merokok jadi kebiasaan kalau percobaan pertama memberikan akibat positif. Tapi akibat positif dihayati ketika seseorang mendapatkan kebutuhan yang mungkin tidak ia sadari. Anak yang dihukum oleh ibunya karena ketahuan merokok, tampaknya mendapat akibat negatif (hukuman), tapi barang kali disamping akibat negatif itu ia juga menghayati akibat-akibat positif yang tidak disadari (penerimaan oleh kawan-kawan, dan mungkin juga merasa diperhatikan karena dimarahi)
4. Kebiasaan menguat kalau sering dijalankan
Makin sering sesereoang ke kantor melalui rute tertentu atau dengan cara tertentu, makin kuat kebiasaan itu. Makin sering orang merokok, makin kuat kebiasaan untuk merokok
5. Kebiasaan bisa diubah
Setelah nikah banyak wanita yang memutuskan mengubah tanda tangannya. Lalu akhirnya sebuah kebiasaan lama bertukar jadi kebiasaan baru. Sepanjang kehidupan seseorang tanpa sadar telah melakukan banyak perubahan kebiasaan. Intinya kebiasaan bisa diubah, termasuk kebiasaan merokok.
6. Perubahan kebiasaan membutuhkan tekad
Ketika memulai kebiasaan baru, tidak jarang orang ‘lupa’ dan secara otomatis menampilkan kebiasaan lamanya. Orang yang telah mengganti tanda tangannya, pada masa-masa permulan sering lupa. Agar berhasil membuat refleks baru, proses pembentukan refleks baru itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Siswa kursus mengetik harus perlahan-lahan membiasakan diri meninggalkan kebiasaan mengetik 11 jari menjadi 10 jari. Mulai mulai makan bersama mertua, Dony harus sangat menyadari bahwa ia harus memotong daging dengan garpu dan pisau, bukan langsung memegang daging dan memotongnya dengan gigi. Orang yang abru mulai kebiasaan tidak-merokok jugha sering lupa dan mengulangi kebiasaan lama.
7. Merokok adalah kebiasaan, bukan kebutuhan dasar
Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
8. Menyalakan rokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekurangan nikotin.
Setelah satu jam tidak merokok, seseorang yang terbiasa menyalakan rokok baru setiap 1 jam, tanpa terlalu sadar menyalakan rokok baru. Dia bilang, tubuhnya sudah kekurangan nikotin, karena sudah satu jam tidak merokok. Padahal, kalau dia misalnya tertidur karena kecapaian selama 12 jam, dia tidak merasakan kekurangan nikotin. Kalau dia bercinta dengan pasangan yang menggariahkan selama beberapa jam, ia lupa akan kebutuhan nikotinnya. Dia sebetulnya merokok, karena ingat. Merokok dirangsang oleh pikiran, bukan oleh kekurangan nikotin
9. Merokok memuaskan kebutuhan psikologis
Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok. Dan dengan memperhatikan bahwa ada saat saat orang jadi lebih sering merokok dan disaat lain jarang merokok, harus disimpulkan bahwa merokok lebih merupakan cara memuaskan kebutuhan psikologis dan bukan memuaskan kebutuhan sikotin. Yang sulit, banyak orang tidak sadar kebutuhan psikologis apa yang membuatnya membutuhkan rokok.
10. Pecuma menakut-nakuti perokok
Banyak perokok berusia lanjut yang lebih sehat dari orang mudah yang tidak merokok. Perokok percaya bahwa merorok tidak langsung merusak kesehatan. Perokok juga tahu bahwa tiap perokok aktif adalah sekaliigus perokok pasif, karena perokok juga menghirup udara yang mengandung nikotin. Karena itu perokok fanatik akan menertawakan teori yang mengatakan bahwa perokok pasif lebih riskan. Mereka akan berkata, kalau benar perokok pasif itu lebih riskan, kan sebaiknya jadi perokok aktif.Berbedat dengan perokok tentang bahaya merokok tidak membuat perokok ingin berhenti merokok. Barangkali perdebatan itu justru memuaskan kebutuhan untuk “berperang” yang sebetulnya juga merupakan kebutuhan yang melahirkan kebiasaan merokok.
11. Tidak ada resep generik untuk menghentikan kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok bisa diubah. Tetapi cara yang efektif untuk orang tertentu belum tentu efektif untuk orang lain. Tiap-tiap orang akan menemukan caranya sendiri, beberapa diantaranya ditemukan secara kebetulan. Yang palingpenting mengubah kebiasaan membutuhkan tekad. Jika orang hanya terpakasa mengubah kebiasaannya, tanpa kesediaan untuk berubah, maka satu saat kebiasaan itu akan kambuh lagi. Karena merokok dirangsang oleh pikiran, bukan karena kekuarangan nikotin



1. Fakta: Ada orang yang sehat tanpa pernah merokok. Teori: Rokok bukan kebutuhan untuk hidup sehat. Tanpa rokok orang tidak akan kekurangan zat yang dibutuhkan untuk hidup sehat.
2. Fakta: Ada orang yang sudah berkali-kali merokok tanpa sampai ketagihan. Ada orang yang baru satu dua kali merokok langsung ketagihan. Teori: Hanya orang tertentu yang jadi ketagihan, Jadi orang tidak akan merokok kalau dia tidak “membutuhkan” rokok.
3. Fakta: Ada orang yang ketagihan rokokTeori: Nikotin menyebabkan ketagihan. Ada orang yang membutuhkan nikotin.
4. Fakta: Banyak orang gagal berhenti merokok walaupun ia tetap memperoleh nikotin melalui hal lain (misalnya permen yang mengandung nikotin) Teori: Yang menyebabkan ketagihan bukan nikotin, yang dinikmati bukan nikotin tetapi kegiatan merokok. Dengan kata lain, Merokok adalah Kebutuhan Psikologis.
5. Fakta: Banyak perokok yang biasanya bisa menghabiskan 4 atau 5 batang dalam waktu 1 atau dua jam, bisa tidak ingat untuk merokok ketika sedang terlibat kegiatan yang menyenangkan atau melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh perhatian. (misal sedang menyelam, sedang berolah raga, sedang bercumbu) Teori: Orang merokok, dipacu oleh situasi. Orang bukan ketagihan pada nikotin tetapi ketagihan pada kegiatan merokok.
6. Fakta: Tidak ada orang yang merokok pada saat sedang tidur. Jika orang kecapaian sehingga tidur jauh lebih lama dari biasanya maka selama itu pula ia tidak merokok. Selama itu pula tubuhnya tidak mendapatkan suplai nikotin, tapa membuatnya jadi gelisah. Padahal kalau dalam keadaan bangun mungkin tiap jam ia ingin merokokTeori: Yang menyebabkan keinginan merokok bukan keadaan kekurangan nikotin, tetapi pikiran.
7. Fakta: Ada orang yang susah berhenti merokok, ada orang yang bisa berhenti merokok, Teori: Orang yang berhenti merokok sudah tidak membutuhkan rokok, atau sudah mendapatkan hal lain sebagai pengganti rokok.
8. Fakta: Tiap perokok aktif adalah sekaligus perokok pasif (karena ia juga menghirup kembali udara disekitar yang penuh asap rokok).Teori: Tidak masuk akal bahwa perokok pasif lebih riskan terhadap bahaya merokok. Seandainya perokok pasif yang lebih riskan, lebih sekalian jadi perokok aktif.
9. Fakta: Ada banyak perokok yang lebih sehat dari orang yang tidak merokok.Teori: Tidak ada gunanya menakut-nakuti perokok bahwa kesehatannya akan terganggu. Perokok percaya bahwa merokok tidak otomatis mengganggu kesehatan. Harus dicari cara lain untuk membujuk perokok menghentikan kebiasaannya.
10. Fakta: Banyak kebiasaan yang bisa berubah tanpa disengaja, dan banyak kebiasaan yang gagal diubah melalui usaha yang sengaja.Teori: Tidak ada resep untuk menghentikan kebiasaan. Kebiasaan berhenti kalau diganti kebiasaan baru. Kebiasaan baru bisa muncul dengan sendirinya (secara tiba-tiba).
11. Fakta: Kebiasaan bisa diubah melalui kontrol kesadaran. Wanita yang menikah biasanya mengubah tanda tangannya. Awal prosesnya harus melalui kesadaran. Murid pelajaran bahasa Inggris bisa mengubah caranya mengucapkan kata-kata tertentu, tetapi awalnya harus ia lakukan dengan penuh kesadaran. Orang bisa mengubah kebiasan menyetir mobil waktu ganti mobil baru yang tombol-tombolnya berada ditempat berbeda.Teori: Perubahan kebiasaan memerlukan tekad dan harus terus menerus disadari
12. Fakta: Kecenderung untuk menampilkan sebuah tingkah laku, menjadi makin kuat jika tingkah laku sering ditampilkan, lebih-lebih jika penampilan tingkah laku itu menghasilkan akibat positif.Teori: Makin lama seseorang berhenti merokok, makin besar kemungkinan ia menghentikan kebiasaannya.
Diposkan oleh bmatindas di 04:26 http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif


Teori Perilaku Merokok

1.      Pengertian Perilaku Merokok
Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai dalam pendapat bahwa pokok persoalan psikologi adalah perilaku, namun tetap terdapat perbedaan yang besar sekali dalam pendapat mereka mengenai hal-hal apa saja tepatnya yang harus dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut. Dalam pengertian paling luas, perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami seseorang. Ide-ide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari, menggerakkan sesuatu, semuanya itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku adalah sebarang respon (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme. Sedangkan menurut pengertian yang lebih sempit, perilaku hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif (Chaplin, 2005). Hampir sama dengan definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa tahun) menyatakan bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari organisme ini dipengaruhi oleh faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun stimulus eksternal.
Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Sari dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Menurut Ogawa (dalam Triyanti, 2006) dahulu perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau ketagihan, tetapi dewasa ini merokok disebut sebagai tobacco dependency atau ketergantungan tembakau. Tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai perlaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang disebabkan oleh kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari & Helmi, 2000). Sementara Leventhal & Cleary (1980) menyatakan bahwa perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of smoking.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok yang dilakukan secara menetap dan terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a smoker, dan maintenance of smoking.
1.      Etiologi Perilaku Merokok Pada Remaja
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etiologi perilaku merokok pada remaja, akan dibahas terlebih dahulu definisi remaja. Remaja atau adolescene berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Istilah ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Monks (1999) membagi masa remaja menjadi tiga kelompok tahap usia perkembangan, yaitu early adolescence (remaja awal) yang berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun, middle adolescence (remaja pertengahan) yang berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun, dan late adolescence (remaja akhir) yang berada pada usia 18 sampai 21 tahun.
Dalam membahas etiologi (penyebab) gangguan penyalahgunaan dan ketergantungan zat ¾ termasuk perilaku merokok, harus dipahami bahwa seorang individu menjadi tergantung pada zat umumnya melalui suatu proses. Pertama, orang yang bersangkutan harus mempunyai sikap positif terhadap zat tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan menggunakannya, mulai menggunakannya secara teratur, menggunakannya secara berlebihan, dan terakhir menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara fisik padanya. Setelah menggunakannya secara berlebihan dalam waktu lama, orang yang bersangkutan akan terikat oleh proses-proses biologis toleransi dan putus zat (Davison dkk, 2006). Secara lebih spesifik, Kurt Lewin (dalam Komalasari & Helmi, 2000) berpendapat bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Berbagai penelitian di beberapa negara telah dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang berperan terhadap perilaku merokok pada remaja. Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menghubungkan perilaku merokok ini dengan etnis (Scragg dkk, 2002), usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua, perilaku merokok orang tua, jumlah uang saku (Rachiotis dkk, 2008; Paavola dkk, 2004), perilaku merokok teman (Siziya dkk, 2007), dan intensitas melihat iklan rokok (Siziya dkk, 2008; López dkk, 2004). Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor yang berperan dalam perilaku merokok pada remaja:
  1.  
1.      Faktor Individu
Erik H. Erikson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa keputusan seorang remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa mencari identitas diri seperti usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Tugas utama seorang remaja adalah mengintegrasikan berbagai macam identifikasi yang mereka bawa dari masa kanak-kanak menuju identitas yang lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk menemukan identitas diri tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh karenanya beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris.
Di sisi lain, saat pertama kali mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin adalah adiktif, jika dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti merokok (Komalasari & Helmi, 2000).
Selain karena krisis psikososial dan kepuasan psikologis, perilaku merokok pada remaja juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang menyebabkan seorang individu mencari relaksasi. Merokok dianggap dapat memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang menyenangkan, relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam Komalasari & Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi para remaja generasi sebelumnya. Semua ini sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan stres. Remaja yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59 persen (http://lifestyle.okezone.com).
Keterhubungan antara perilaku merokok dan stres telah diteliti oleh para ahli sejak tiga dekade yang lalu. Fink (2007) mencatat bahwa terdapat beberapa penemuan yang mengindikasikan bahwa secara klinis dan teoritis memang terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku merokok, stres, dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti gangguan major depressive, berbagai macam gangguan kecemasan, schizophrenia, gangguan kepribadian antisosial, dan individu dengan trait kepribadian tertentu yang menyebabkan mereka lebih sering mengalami distres pribadi lebih mungkin untuk merokok. Contohnya, trait kepribadian neuroticism (kecenderungan umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres) ternyata berhubungan dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan bahwa faktor genetis memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan respon terhadap stres. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak gen yang berperan ganda, mempengaruhi seorang individu untuk merokok dan membuat seorang individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan gangguan psikiatri yang berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga seringkali digunakan sebagai cara untuk mengatasi stres meskipun merokok bukanlah cara coping yang sehat atau menguntungkan (Wills & Cleary dalam Davison, 2006). Seorang mantan perokok seringkali memutuskan untuk mulai merokok lagi ketika mereka mengalami stres karena kebanyakan perokok telah belajar bahwa merokok merupakan cara untuk mengurangi stres (Brandon, 2000). Hal ini berarti bahwa perilaku merokok akan terjadi dan akan dialami sebagai sebuah ganjaran (reward) bagi para perokok (Fink, 2007).
Faktor Lingkungan
Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Perilaku bermasalah pada remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara variabel interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor dalam Richardson dkk, 2002).
Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga, riwayat, pola hubungan orang tua-anak, pola asuh, dan perilaku merokok orang tua. Struktur keluarga memainkan peran yang cukup signifikan dalam hal ini, misalnya dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian orang tua meningkatkan resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Di samping struktur keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang tidak kalah pentingnya. Keluarga dengan riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan, dan pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan penyalahgunaan zat pada remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam sebuah keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku merokok, misalnya dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan yang lebih ketat akan menurunkan tingkat perilaku merokok secara signifikan (Guo dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Pola asuh adalah faktor lain yang mempengaruhi perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa perilaku merokok berhubungan dengan pola asuh permisif dan rendahnya tingkat kelekatan. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja. Conrad, Flay, dan Hill (dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13 penelitian yang direview, perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi prediktor munculnya perilaku merokok pada usia remaja.
Perilaku merokok juga dapat disebabkan oleh pengaruh kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya seringkali menjadi faktor utama dalam masalah penggunaan zat oleh remaja (Richardson dkk, 2002). Selama masa remaja, seorang individu mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya daripada dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti bagi remaja, karena masa tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai bergabung pada kelompok sebaya. Kebutuhan untuk diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima kelompoknya dan terbebas dari sebutan “pengecut” dan “banci” (Komalasari & Helmi, 2000). Memiliki teman-teman yang merokok memprediksi kebiasaan merokok pada seorang individu (Davison dkk, 2006). Sikap teman sebaya terhadap penggunaan berbagai zat termasuk nikotin dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan zat tersebut. Dalam sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa para pemuda New York yang pernah berhubungan dengan teman sebaya yang merokok atau memakai mariyuana lebih mungkin untuk memakai mariyuana dalam rentang kehidupan mereka (Brook dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Harlianti (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa lingkungan sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam penelitian lain terungkap bahwa identifikasi kelompok sebaya di kelas 7 memprediksi kebiasaan merokok di kelas 8. Meskipun pengaruh teman-teman sebaya adalah penting dalam pengambilan keputusan yang dilakukan para remaja untuk menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki rasa efektivitas diri yang tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka. Para remaja yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan pernyataan seperti “Saya dapat membayangkan diri saya menolak memakai tembakau bersama pelajar seusia saya dan mereka tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam Davison dkk, 2006).
Di samping karena pengaruh teman sebaya dan lingkungan keluarga, perilaku merokok juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat ini makin merajalela sangat menarik bagi para remaja (Widiyarso, 2008). Menurut López dkk (2004), beberapa penelitian telah menghasilkan temuan adanya hubungan yang cukup signifikan antara keterpaparan terhadap iklan rokok dengan perilaku merokok pada remaja. Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002). Iklan rokok Joe Camel telah dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta anak-anak di Amerika untuk merokok antara tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam López dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat usaha orang tua melarang anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku anak-anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya (Mu’tadin, 2002).

1.      Faktor Demografis
Demografis berarti variabel-variabel kependudukan, termasuk distribusi geografis, statistik vital, situasi fisik, dan seterusnya (Chaplin, 2005). Beberapa faktor demografis yang berhubungan dengan perilaku merokok adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta tingkat sosial ekonomi.
Dalam sebuah penelitian terhadap para remaja didapatkan temuan bahwa remaja berusia 16-17 tahun mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar untuk merokok (dengan prevalensi sebesar 48,2% pada remaja pria dan 47,6% pada remaja putri) dibandingkan remaja berusia 11-12 tahun (dengan prevalensi sebesar 9,4% pada remaja pria dan 12,8% pada remaja putri) (Rachiotis dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok lebih tinggi pada kelompok usia tertentu.
Selain faktor usia, jenis kelamin mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Rachiotis dkk (2008) mencatat bahwa dalam berbagai penelitian telah terungkap kecenderungan yang lebih tinggi pada pria untuk merokok dibanding perempuan. Namun pada beberapa negara tertentu, prevalensi perilaku merokok pada remaja putri lebih tinggi daripada remaja putra seperti di Swedia (13,7% vs 5,5%), Norwegia (19.9% vs 15.4%), Austria (24.7% vs 19.5%), Belgia (19.0 vs16.8%) dan Finlandia (18.0 vs 16.4), sementara pada negara-negara lain (seperti Yunani, Jepang, Malawi, dan Etiopia) prevalensi perilaku merokok tetap lebih tinggi pada remaja pria.
Penelitian menunjukkan signifikansi ras dan etnis dalam masalah perilaku merokok pada remaja (Ellickson dkk, 2004 dan Davison dkk, 2006). Orang kulit putih dan hispanik mempunyai kecenderungan lebih besar untuk merokok dan mulai merokok pada usia lebih muda dibanding orang-orang Afrika Amerika. Sementara orang Asia memperlihatkan tingkat perilaku merokok yang lebih rendah dibanding orang kulit putih dan Hispanik. Perbedaan perilaku merokok antar etnis ini dipengaruhi oleh setidaknya empat faktor psikososial, yaitu: pertalian sosial (keluarga, sekolah, agama), pengaruh lingkungan yang mendukung perilaku merokok, penanganan masalah-masalah yang berhubungan dengan perilaku, dan sikap mendukung perilaku merokok. Dibandingkan orang kulit putih, orang Hispanik dan Asia menunjukkan tingkat kelekatan terhadap keluarga yang lebih tinggi, dan orang Asia menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap pencapaian prestasi akademis yang berakibat menjadikan mereka tidak mudah terpengaruh oleh sikap lingkungan yang mendukung perilaku merokok. Orang Afrika Amerika mempunyai keterikatan yang kuat dengan agama dan sikap orang tua lebih cenderung menolak rokok, sebaliknya orang kulit putih biasanya mempunyai lebih banyak teman yang merokok dan menerima dengan begitu saja apa yang mereka lakukan sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh perilaku merokok teman sebaya dan orangtua. (Ellickson dkk, 2004). Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa para perokok etnis Afrika Amerika mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk berhenti merokok dan lebih mungkin, jika mereka tetap mempertahankan kebiasaannya, menderita kanker paru-paru karena nikotin tersimpan di dalam darah mereka untuk waktu yang lebih lama dibanding orang-orang kulit putih, yang berarti mereka memetabolisasi nikotin lebih lambat. Juga diketahui bahwa etnis Afrika Amerika menghirup jauh lebih banyak nikotin dari setiap rokok yang dihisap karena mereka lebih sedikit menghembuskan asap dan menghisap rokok lebih dalam (Davison dkk, 2006).
Status sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Pada banyak negara berkembang, prevalensi perilaku merokok menjadi lebih besar pada kelompok sosial ekonomi rendah (Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004). Dalam sebuah penelitian di Finlandia Timur terungkap bahwa anak-anak dari para pekerja kerah biru (buruh) lebih banyak yang merokok dibandingkan anak-anak dari para pekerja kerah putih (pegawai kantor) atau petani. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan mempunyai keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Pada subjek kelompok usia 13 tahun, 10% anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merokok sementara pada anak-anak yang melanjutkan hanya 4% yang merokok. Pada subjek kelompok usia 28 tahun, 63% persen subjek yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok sementara yang mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. Dari ketiga variabel, satu-satunya variabel sosial ekonomi yang tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok adalah tingkat penghasilan (Paavola dkk, 2004). Seperti hasil penelitian Paavola dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria, tingkat pendidikan orang tua yang semakin rendah, dan ketersediaan uang saku yang cukup banyak pada masa remaja berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok saat ini. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa anak-anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang hanya mengenyam pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ayah, semakin jarang anak mereka yang menjadi perokok. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa status sosial ekonomi, khususnya tingkat pendidikan sang ayah lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja dibanding tingkat pendidikan sang ibu. Sementara dari penelitian Scragg (2002) yang dilakukan terhadap para remaja di Selandia Baru diketahui bahwa perilaku merokok berkorelasi positif dengan jumlah uang saku yang diterima, namun tergantung pada status sosial ekonomi. Kelompok remaja dengan status sosial ekonomi rendah yang menerima uang saku lebih dari 30 dolar dalam 30 hari terakhir merupakan kelompok yang paling besar kemungkinannya untuk merokok. Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa perilaku merokok sangat erat hubungannya dengan status sosial ekonomi.
1.      Tahap-Tahap Perilaku Merokok
Pada dasarnya perilaku merokok merupakan sebuah perilaku yang kompleks yang melibatkan beberapa tahap. Perilaku merokok pada remaja umumnya melalui serangkaian tahapan yang ditandai oleh frekuensi dan intensitas merokok yang berbeda pada setiap tahapnya (Mathew dkk dalam Richardson, 2002), dan seringkali puncaknya adalah menjadi tergantung pada nikotin. Menurut Leventhal & Cleary (1980) terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok sehingga seorang individu benar-benar menjadi perokok, yaitu:
a. Tahap Preparation
Pada tahap ini, seorang individu mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok. Anak-anak mengembangkan sikap terhadap rokok dan sebelum mencobanya mereka sudah mempunyai gambaran seperti apa merokok itu. Sikap ini merupakan sesuatu yang penting dalam perkembangan kebiasaan merokok nantinya. Dalam sebuah penelitian, pernyataan yang dimaksudkan untuk mencoba rokok terbukti menjadi prediktor terbaik bagi terbentuknya perilaku merokok selanjutnya. Tahap persiapan (prepatory stage) melibatkan persepsi tentang apa yang dilibatkan dalam merokok dan apa fungsi merokok. Para siswa sekolah berbeda dalam mendeskripsikan ciri kepribadian perokok dan non-perokok; mereka menganggap perokok sebagai orang yang bodoh, ceroboh, kuat, santai, malas, lebih sering mengalami masalah, dan sebagainya. Menariknya, beberapa anak yang merokok memandang diri mereka memiliki ciri-ciri tersebut. Mengapa gambaran ini menjadi pendorong untuk merokok? Kemungkinannya adalah merokok memberikan kesan kuat, sebuah kemampuan untuk menyatakan dorongan, bebas dari cengkeraman kekuasaan. Anak yang kurang berhasil di sekolah, lebih banyak melawan, dan suka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan orangtua atau tradisi, akan lebih mungkin tertarik untuk merokok pada usia kanak-kanak dan mulai menggunakan rokok sebagai simbol bahwa dirinya adalah kuat, keren, bebas dari cengkeraman kekuasaan, sebagaimana mereka akan memakai obat-obatan untuk selanjutnya.
Anak-anak muda yang menganggap diri mereka sebagai orang yang bebas mungkin merokok bukan untuk menuruti tekanan teman sebaya. Anak muda yang merokok untuk pertama kalinya karena dorongan teman-temannya mungkin memiliki alasan yang berbeda pada tahap persiapan. Beberapa dari mereka mungkin merasa cemas dan tidak mampu sehingga mereka merokok untuk bisa diterima secara sosial dan menjadi bagian dari gang. Beberapa orang mulai mencoba rokok adalah untuk mengendalikan emosi seperti kecemasan kerja. Merokok mungkin dianggap dapat meningkatkan performansi dalam ujian dan memperbesar kesempatan seseorang untuk meraih prestasi akademik. Hal-hal tersebut mungkin merupakan sesuatu yang penting bagi orang-orang yang mulai merokok pada usia-usia remaja akhir atau dewasa awal, suatu jenis perilaku merokok yang banyak ditemui pada mahasiswa kedokteran dan mahasiswa-mahasiswa lainnya.
b. Tahap Initiation
Tahap initiation adalah tahap ketika seseorang benar-benar merokok untuk pertama kalinya. Tahap ini merupakan tahap kritis bagi seseorang untuk menuju tahap becoming a smoker. Pada tahap ini, seorang individu akan memutuskan untuk melanjutkan percobaannya atau tidak. Meskipun rasa serak yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok merupakan faktor penting yang mendasari keputusan ini, tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan individu dalam hal respon fisiologis terhadap rokok dan terhadap rasa panas dapat dipandang sebagai alasan utama bagi mereka yang ingin berhenti dan tidak menginginkannya. Timbulnya rasa sakit tidaklah cukup jadi alasan untuk menghentikan atau meneruskan sebuah perilaku, bagaimana rasa sakit itu didapatkan hendaknya juga dijelaskan, contohnya, tanda berupa rasa sakit dan tanda bahaya pada diri seseorang merupakan hal penting yang mendorongnya untuk mencari nasihat medis dan menganggap dirinya sedang menghadapi sebuah risiko. Sensasi berbahaya yang dirasakan oleh tubuh namun ditafsiri sebagai sesuatu yang tidak berbahaya lama-lama akan menjadi sesuatu yang biasa dan berakibat pada diabaikannya sensasi tersebut. Hal tersebut memainkan peran penting dalam adaptasi perilaku merokok.
Seiring dengan berjalannya waktu, jelas akan ada perkembangan toleransi yang bersifat fisiologis terhadap efek merokok. Pengalaman merokok, menjadi waspada, santai, dan segar yang dialami sehari-hari dapat menjadi fakta yang nyata bahwa merokok memang bermanfaat. Rasa sakit yang tidak terlalu kentara yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok, seperti rasa terbakar, rasa kesat, sengatan rasa panas dan asap rokok, mungkin ditafsiri sebagai bukti bahwa merokok memang tidak berbahaya. Keyakinan anak-anak bahwa merokok berbahaya bagi orang lain dan orang-orang yang lebih tua dan bukan bagi diri mereka mungkin timbul dari pengalaman adaptasi (penyesuaian).
c. Tahap Becoming a Smoker
Salber dkk (dalam Leventhal dan Cleary, 1980) menyatakan bahwa merokok empat batang rokok sudah cukup membuat orang untuk merokok pada masa dewasa dan dapat membuat mereka jadi tergantung melalui percobaan berulang dan pemakaian secara teratur. Data menunjukkan bahwa 85%-90% orang yang merokok empat batang rokok akan merokok secara teratur yang secara tidak langsung berarti bahwa percobaan merokok pada masa remaja akan mendorong mereka untuk merokok ketika dewasa, baik ketika usia muda mereka ingin atau tidak ingin menjadi perokok. Namun jelas bahwa banyak anak muda tidak sampai menghabiskan empat batang rokok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80-90% pemuda mencoba sedikitnya satu batang rokok, dan proporsi perokok pada siswa SD, SMP, dan SMA jarang yang melebihi 50% dari anak-anak yang mencoba rokok.
Sesungguhnya data yang ada tampak mendukung hipotesis bahwa dibutuhkan 2 tahun atau lebih untuk menjadi seorang perokok berat (yang terus-menerus merokok) dihitung dari waktu pertama kali merokok atau hanya kadang-kadang mencoba rokok: ini adalah tahap becoming a smoker. Persentase pelajar yang merokok bertambah secara bertahap (7% pada kelas 7 menjadi 46% pada kelas 11) dan jumlah rokok yang dikonsumsi juga meningkat secara bertahap (1 batang seminggu 20 batang sehari), dengan peningkatan yang cukup tinggi pada kelas 10, perempuan merokok 5-9 batang per hari dan pria merokok 10-19 batang per hari.
d. Tahap Maintenance of Smoking
Pada tahap ini merokok sudah menjadi bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating) seseorang dalam berbagai situasi dan kesempatan. Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan (Leventhal & Cleary, 1980). Efek dari perilaku merokok terutama berkaitan dengan relaksasi dan kenikmatan sensoris. Nesbitt (dalam Christanto, 2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orang yang merokok merasa rileks saat merokok karena mereka mengatribusikan semua gejala yang muncul saat merokok ke dalam rokoknya. Senada dengan Nesbitt, Daniel Horn, Direktur The National Clearing House for Smoking and Health yang melakukan survei atas 5000 orang untuk mengetahui alasan-alasan mereka merokok menemukan bahwa sebagian besar perokok (40-50%) merokok untuk meringankan kecemasan dan ketegangan, sedangkan lainnya karena ingin memunculkan efek stimulan (perangsang), iseng-iseng, dan merasa santai (Psikologi Indonesia Forum, 2006). Karch (1998) yang meneliti efek nikotin terhadap kemampuan sensoris, motorik, perhatian, dan kognitif menemukan bahwa nikotin tidak berpengaruh terhadap kemampuan sensoris seseorang, namun mampu meningkatkan performa motorik, perhatian, dan kognitif. Lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa dalam hal performa motorik, nikotin mampu meningkatkan tingkat ketukan jari tangan dan keseimbangan tangan. Sedangkan dalam kemampuan perhatian dan fungsi kognitif, nikotin meningkatkan kecepatan waktu reaksi dan menurunkan tingkat kesalahan dalam merespon tugas-tugas yang membutuhkan perhatian. Dalam eksperimen dengan tugas belajar kata-kata berpasangan, nikotin dapat meningkatkan jumlah kata yang harus diingat, meningkatkan pengenalan terhadap ingatan, mengurangi jumlah kesalahan, mengoptimalkan tingkat keterjagaan, dan mempercepat waktu reaksi dalam tes ingatan Sternberg.
Pemahaman tentang fungsi pengaturan sebuah perilaku mungkin penting untuk pengembangan teknik pengurangan dan penghentian merokok yang mampu bertahan lama. Faktor-faktor yang berperan dalam menetapnya perilaku merokok telah diselidiki, baik melalui pendekatan psikologis maupun biologis. Sayangnya, dua pendekatan ini sering disajikan sebagai sesuatu yang berbeda, yaitu fungsi-fungsi psikologis terlibat tidak lebih untuk menyelidiki laporan tentang kepuasan merokok yang dirasakan oleh perokok, sementara penelitian-penelitian biologi lebih banyak menjabarkan mekanisme fisiologis yang mendasari perilaku merokok. Sebenarnya dua pendekatan tersebut saling melengkapi dalam menjelaskan masalah yang sama. Tidak mungkin seseorang mampu menjelaskan mekanisme biologis dalam perilaku merokok jika dia tidak bisa menjelaskannya secara psikologis: Analisa biologis seringkali mengikuti bentuk analisa psikologis. Paling tidak, analisa psikologis dapat mempertajam pandangan tentang proses-proses yang mendasari sebuah respon dan membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia merokok mungkin mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan suatu mekanisme biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya tahap-tahap terbentuknya perilaku merokok ini maka diharapkan dapat dikembangkan strategi untuk mengendalikan perilaku merokok pada remaja.
Kesimpulan didapat dari para peneliti Belanda yang telah melakukan riset terhadap sejumlah merek rokok. Hasilnya ditemukan hemoglobin babi pada filter rokok. Profesor Simon Chapman dari Universitas Sydney mengatakan, penelitian ini menyibak komposisi rokok yang selama ini memang sangat tertutup, dengan kedok rahasia perusahaan.
            Prof Chapman  berpendapat, riset ini telah mengakomodir kepentingan agama yang secara khusus melarang mengkonsumsi daging babi, seperti bagi umat Muslim dan Yahudi. “Saya pikir, beberapa kelompok yang sangat taat akan mengemukakan pendapat bahwa kandungan babi dalam rokok sangat menyinggung,” kata Prof Chapman, seperti dikutip news.com.au, Selasa (30/3/2010). “Tentu komunitas Yahudi akan menyikapi hal ini dengan sangat serius. Begitu juga umat Islam serta para vegetarian,” tambah dia.
Penelitian tersebut mengungkapkan, hemoglobin babi digunakan untuk membuat rokok filter lebih efektif menahan bahan kimia berbahaya, sebelum perokok menghisap dan masuk ke dalam paru-paru. Hemoglobin adalah protein yang mengandung zat besi di dalam sel darah merah. Fungsi unsur tersebut sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru  ke seluruh tubuh hewan mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung karbon dioksida kembali menuju paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.
            Setidaknya satu merek rokok yang dijual di Yunani telah dikukuhkan menggunakan hemoglobin babi dalam proses pembuatannya, tanpa diketahui para konsumen. Sayangnya tidak disebutkan nama merek rokok tersebut. “Jika Anda seorang perokok dan beragama Islam atau Yahudi, maka Anda mungkin ingin tahu bagiamana cara mengetahui apakah rokok yang ada hisap mengandung hemoglobin babi atau tidak?” kata Prof Chapman
Nah, setelah tahu berita tentang penelitian ini, apakah anda tetap mau merokok? Walaupun fatwa haram tentang merokok telah dikeluarkan oleh MUI, apakah anda yang beragama islam tetap akan merokok? Semua kembali ke pendapat masing-masing.


Dikutip Dari:
Aritonang, M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Atkinson, Rita L; Atkinson, Richard C.; Smith, Edward E. dan Bem, Darly J. Tanpa tahun. Pengantar Psikologi. Batam: Interaksara.
Brandon, Ph.D., Thomas. 2000. Smoking, Stress, and Mood. H. Lee Moffit Cancer Center and Research Institute at the University of South Florida.
Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali Pers.
Christanto, A. 2005. Merokok: Antara Ya dan Tidak (Suatu Kajian Praktis Filsafat Ilmu), (online), (http://www.mailarchive.com/dokter@yahoo- groups.com/msg0035.html, diakses 1 Maret 2009).
Cohen, Sheldon & Lichtenstein, Edward. 1990. Perceived Stress, Quitting Smoking, and Smoking Relaps. Health Psychology, 9(4): 466-478.
Davison, Gerald C.; Neale, John M. and Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi ke-9). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ellickson, Ph.D, Phyllis L.; Orlando, Ph.D, Maria; Tucker, Ph.D, Joan S. and Klein MS, David J. 2004. From Adolescence to Young Adulthood: Racial/ Ethnic Disparities in Smoking. American Journal of Public Health, 94(2): 293-299.
Enggarsasi, Aries. 2008. Perbedaan Tingkat Stres Antara Mahasiswa Berkepribadian Extrovert Dan Introvert Dalam Pengerjaan Skripsi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Fink, George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol I. 2nd ed. San Diego: Academic Press.
Fink, George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol II. 2nd ed. San Diego: Academic Press.
Gullotta, Thomas P. & Adams, Gerald R. 2005. Handbook of Adolescent Behavioral Problems: Evidence-Based Approaches to Prevention and Treatment. New York: Springer Science.
Hurlock, B.Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan oleh Istidawanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Karch, M.D., Steven B. 1998. Drug Abuse Handbook. New York: CRC Press.
Komalasari, Dian & Helmi, Avin Fadilla. 2000. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 28: 37-47.
Leventhal, Howard & Cleary, Paul D. 1980. The Smoking Problem: A Review of the Research and Theory in Behavioral Risk Modification. Psychological Bulletin, 80(2): 370-405.
López, M. Luisa; Herrero, Pablo; Comas, Angel; Leijs, Ingrid; Cueto, Antonio; Charlton, Anne; Markham, Wolf and Vries, Hein de. 2004. Impact of Cigarette Advertising on Smoking Behaviour in Spanish Adolescents as Measured Using Recognition of Billboard Advertising. European Journal of Public Health, 14(4): 428 432.
Mappiare, Andi. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Miller, Patricia H. 1993. Theories of Developmental Psychology. 3rd ed. New York: W. H. Freeman and Company.
Monks, Prof. Dr. F.J. dkk. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. 2002. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Mu’tadin, Zainul. 2002. Remaja dan Rokok, (online), (http://herbalstoprokok. wordpress.com/2009/02/04/remaja-dan-rokok, diakses 28 Februari 2009).
Paavola, Meri; Vartiainen, Erkki and Haukkala, Ari. 2004. Smoking From Adolescence to Adulthood, the Effects of Parental and Own Socioeconomic Status. European Journal of Public Health, 14(4): 417-420.
Psikologi Indonesia Forum. 2006. Pengaruh terapi Hipnosa Terhadap intensitas Perilaku Merokok di Kalangan Pria Dewasa Dini, (online), (http://groups. google.co.id/group/psikologi-indonesia-forum/browse_thread/thread/6c3a8-daf8702f1f7/935da65c0ebf1f93%23935da65c0ebf, diakses 3 Maret 2009)
Rachiotis, George; Muula, Adamson S; Rudatsikira, Emmanuel; Siziya, Seter; Kyrlesi, Athina; Gourgouliani, Konstantinos and Hadjichristodoulou, Christos. 2008. Factors Associated With Adolescent Cigarette Smoking in Greece: Results From A Cross Sectional Study (GYTS Study). BMC Public Health, 8: 313.
Remaja Merokok, Salah Lingkungan?, (Online), (http://lifestyle.okezone.com/ index.php/ReadStory/2008/09/12/27/145232/remaja-merokok-salah-lingku-ngan, diakses 25 Februari 2009).
Richardson, Elizabeth E. Lloyd; Papandonatos, George; Kazura, Alessandra; Stanton, Cassandra and Niaura, Raymond. 2002. Differentiating Stages of Smoking Intensity Among Adolescents: Stage-Specific Psychological and Social Influences. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 70(4): 998-1009.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit Erlanga.
Sari, Ari Tris Ochtia; Ramdhani, Neila dan Eliza, Mira. 2003. Empati dan Perilaku Merokok di Tempat Umum. Jurnal Psikologi, 30: 81-90.
Scragg, Robert; Laugesen, Murray and Robinson, Elizabeth. 2002. Cigarette Smoking, Pocket Money and Socioeconomic Status: Results From A National Survey of 4th Form Students in 2000. The New Zealand Medical Journal, 115.
Siziya, Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2007. Cigarette Smoking Among School-Going Adolescents in Kafue, Zambia. Malawi Medical Journal, 19(2): 75-78.
Siziya, Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2008. Prevalence and Correlates of Current Cigarette Smoking Among Adolescents in East Timor-Leste. Indian Pediatric, 45 : 963-968.
SSDC. 2000. Understanding Smoking Behavior, (online), (http://ssdc.ucsd.edu/ tobacco/reports/Chap3.pdf, diakses 3 Maret 2009).
Stevens, M. 2001. The Joy of Not Smoking, (online), (http://www.ubishops.ca/ccc/ div/soc/psy/Smokin01/Peers/body.htm, diakses 4 Maret 2009).
Su’udiyah, Windawati. 2002. Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua dan Penyesuaian Sosial Siswa Kelas II SLTPN I Pajarakan. Probolinggo. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Taylor, Shelley E. 1991. Health Psychology, 2nd ed. Tokyo: Mc Graw-Hill.
Triyanti. 2006. Kebiasaan Merokok, (online), (http://triyanti.blogspot.com/2007/ 07/kebiasaan-merokok.html, diakses 27 Februari 2009).
Wagiatiningsih, I.S. 2005. Persepsi Siswa SMA Terhadap Rokok dan Bahayanya Ditinjau dari Status Remaja Sebagai Perokok dan bukan Perokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Widiyarso, Joko. 2008. Iklan Rokok Merajalela, Remaja Perokok Meningkat, (online), (http://gudeg.net/news/2008/05/3595/Iklan-Rokok-Merajalela, Re-maja-Perokok-Meningkat.html, diakses 3 Maret 2009).


0 komentar:

Posting Komentar