Senin, 18 Juni 2012

SOSIALISASI PENGURANGAN DAMPAK BURUK NAPZA SUNTIK



Penyakit HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987 dan kemudian meledak pada tahun 1993. Sampai bulan Maret 2005 angka nasional mencatat 6.789 kasus. Namun perkiraan nasional telah lebih dari angka tersebut. Penggunaan Jarum Suntik bergantian dari para pemakai narkoba suntik masih merupakan model penularan terbanyak (59,27%), disusul Hubungan Sex Heteroseksual (26,30%) serta mulai munculnya penularan dari Ibu ke Bayi (2,86%)


Di kota Sukabumi sendiri penderita HIV pertama kali ditemukan pada tahun 2000 dan meningkat tajam sejak tahun 2004. Sampai bulan Maret 2007 tercatat 167 kasus dengan 76 AIDS dan 63 diantaranya telah meninggal dunia. Dari 167 kasus yang ditemukan, 83% penderita adalah pria dan 17% adalah wanita dengan umur terbanyak antara 20 – 35 tahun. Pola penularan terbanyak masih melalui narkoba suntik (85%), hubungan sex serta penularan dari ibu ke bayi.

Data tersebut terungkap dalam acara sosialisasi Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia no. 02/Per/Menko/Kesra/2007 Tentang Kebijakan Nasional Program Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik (Harm Reduction) di Operation Room Setda Kota Sukabumi, Rabu, 4 Maret 2007.

Acara sosialisasi yang menghadirkan Bapak Inang Winarso, Asisten Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional ini dihadiri oleh Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kota Sukabumi, Ir. H. F. Kusumajaya, MM, para Kepala Dinas terkait, Kabag Mitra Polresta Sukabumi, Kasat Narkoba Polresta Sukabumi, perwakilan dari rumah sakit-rumah sakit, para kepala puskesmas, LSM Peduli narkoba (Rumah Cemara, BPNA, KDHR, dll) Forum Kota Sehat, perwakilan dari Depag dan MUI Kota Sukabumi.

Peraturan ini difokuskan pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) karena menurut estimasi Depkes tahun 2006 pengguna dari golongan ini merupakan populasi dengan resiko paling tinggi (46%) terkena HIV/AIDS. Sementara populasi lainnya, masyarakat di tanah papua (14%), klien PSK (14%), pasangan penasun (7%), WPS/PSK (5%), waria (2%), klien waria (1%), napi (3%), gay (5%), pasangan gay (3%).

Dalam juklak peraturan ini dijelaskan bahwa Pengguna napza suntik disingkat penasun adalah setiap orang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat adiktif dengan cara suntik. Penasun dalam peraturan ini adalah pasien/orang sakit yang berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan upaya pengobatan/pemulihan ketergantungan napza. Jadi, peraturan ini mengubah paradigma penasun sebagai pelaku kriminal menjadi pasien yang perlu mendapatkan layanan kesehatan. Penjara bukanlah satu-satunya solusi bagi pengguna narkoba, karena yang dibutuhkan pengguna narkoba adalah penyembuhan.

Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik untuk Penanggulangan HIV dan AIDS, adalah suatu cara praktis dalam pendekatan kesehatan masyarakat, yang bertujuan mengurangi akibat negatif pada kesehatan dan kehidupan sosial karena penggunaan napza dengan cara suntik selanjutnya disebut Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik

Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan dalam hal pelayanan teknis kesehatan, Kepolisian Negara RI/Badan Narkotika Nasional melindungi secara hukum kegiatan pelayanan, dapat merujuk penasun ke layanan kesehatan, serta didukung oleh Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Komisi Perlindungan Anak, serta instansi lainnya yang terkait dibawah koordinasi KPA Nasional.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan ini dijelaskan Tujuan Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik, adalah : mencegah penyebaran HIV di kalangan penasun dan pasangannya; mencegah penyebaran HIV dari penasun dan pasangannya ke masyarakat luas; dan mengintegrasikan pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik ke dalam sistem kesehatan masyarakat dalam layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dan AIDS serta pemulihan ketergantungan napza.

Diterbitkannya peraturan menteri ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi penyakit HIV/AIDS khususnya yang penularannya lewat jarum suntik. Namun sesungguhnya tanggung jawab penanggulangan AIDS bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata namun juga membutuhkan perhatian dari semua elemen masyarakat termasuk didalamnya unsur Polri, KPA di Propinsi/Kabupaten/Kota, LSM, BNK, pemuka agama, dan elemen terkait lainnya. 


0 komentar:

Posting Komentar